REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketus Umum Pimpinan Pusat (PP) Fatayat Nahdlatul Ulama Anggia Ermarini mengatakan, persoalan kekerasan terhadap perempuan dan anak di Indonesia menunjukkan kondisi yang semakin berat dalam lima tahun terakhir. "Meskipun dalam jumlah kasus yang terdata tampak menurun, jenis kasus yang dialami perempuan dan anak semakin bervariasi dalam bentuk kekejaman yang semakin parah," kata Anggia dalam acara refleksi dan proyeksi Fatayat NU untuk bangsa, sebagaimana keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (27/1).
Anggia mengatakan, dalam catatan tahunan Komnas Perempuan pada 2017 secara kuantitas kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan terjadi sepanjang 2016 berjumlah 259.150 kasus. Jumlah ini menurun dari laporan catatan tahunan Komnas Perempuan pada 2016 yang menyebutkan kekerasan terhadap perempuan sepanjang 2015 berjumlah 321.752 kasus.
Menurut Anggia, menurunnya angka ini karena adanya perubahan pola pendokumentasian di sejumlah lembaga negara. Tetapi, faktanya jumlah kasus pengaduan langsung korban kepada Komnas Perempuan justru menunjukkan adanya peningkatan.
Hal serupa terjadi dalam jumlah kasus kekerasan terhadap anak yang tercatat dalam Komisi Perlindungan Anak Indonesia. Anggia menekankan, pada tahun-tahun belakangan ini, Indonesia juga merasakan betul pengaruh perkembangan teknologi informasi.
Teknologi informasi telah menjadi wahana berbagai perdebatan dari yang paling bermutu hingga paling remeh temeh atau bahkan negatif. Menurut dia, perkembangan teknologi seharusnya dapat dimanfaatkan untuk upaya penghapusan segala bentuk kekerasan, ketidakadilan, dan kemiskinan dalam masyarakat khususnya bagi perempuan dan anak dengan mengembangkan wacana kehidupan sosial yang konstruktif, demokratis, dan berkeadilan gender.
"Selain itu, penting pula memastikan pendidikan bagi perempuan untuk membuka mata dan kesadaran, sebagai kunci untuk mengatasi kemiskinan, kebodohan, dan ketidakpedulian terhadap gerak perubahan zaman," ucapnya.