REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah menyelenggarakan Musyawarah Nasional (Munas) Tarjih Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Makassar, Kota Makassar, Sulawesi Selatan pada 23-26 Januari 2018. Munas Tarjih Muhammadiyah mengusung tema Penguatan Spiritualitas, Perlindungan terhadap Anak dan Pengelolaan Informasi menuju Masyarakat Berkemajuan.
Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir mengatakan, ada dua arus pemikiran besar yang akan menghegemoni ke depan. Pertama, arus pemikiran yang bercorak humanisme. Berbagai persoalan baru yang muncul pasti akan diwarnai dengan corak ini, baik yang humanisme religius maupun humanisme sekuler. Misalnya, persoalan fikih informasi yang di dalamnya ada media sosial.
"Arus pemikiran kedua bercorak teosentrisme. Semua dikaitkan dengan islami-islami, rabbaniyah. Contohnya, baju yang Islami seperti ini dan itu. Semuanya dikembalikan kepada romantisme masa lalu," kata Haedar saat pidato iftitah di Munas Tarjih Muhammadiyah, Rabu (24/1).
Di antara dua pendulum inilah seharusnya posisi Muhammadiyah. Tapi ini juga bukan berarti Muhammadiyah bersifat abu-abu. Haedar menegaskan, setelah Tafsir al-Tanwir beharap ada dua proyek besar selanjutnya yaitu Fikih al-Tanwir dan Risalah Islamiyyah.
Dia yakin, fikih perlindungan anak nanti di dalamnya ada kaitannya dengan tarbiyah anak. Fikih perlindungan anak ini berangkat dari paradigma modernisme dan praktik modernitas yang terjadi sekarang. Oleh karenanya, perlu melacak khazanah Islam tentang persoalan ini. Misalnya Jamal Albana, namun itu terlalu bercorak rabbaniyyah.
"Nah, di sini kita perlu menafsirkan ulang, saya melihat ada fenomena sekolah-sekolah PAUD yang membentuk anak-anak menjadi shaleh terlalu dini dan mengabaikan sisi kekanak-kanakannya. Sehingga konstruksi ini akan membentuk anak yang serba anti ini, anti itu dan lain sebagainya," ujarnya.
Haedar menyampaikan, masyarakat lama paradigmanya personal-interaksi langsung-relasional. Misalnya, orang mau silaturrahim datangi rumahnya. Seiring terjadinya perkembangan teknologi, paradigma ini berubah menjadi impersonal-interrelasional.
Sekarang orang mau silaturrahim cukup dengan media sosial dan lain-lain. Dengan fenomena ini ada yang hilang realitas nyata. Salah satu efeknya adalah munculnya realitas buatan. Hal ini yang menyebabkan informasi hoax. Fenomena komunikasi impersonal juga akan menghilangkan dimensi rasa.
"Selain dimensi rasa, yang hilang juga adalah daya kritis/ nalar kritis. Contohnya adalah fenomena berita viral. Dalam informasi viral itu akan hilang nalar kritis seseorang, karena hanya ingin dianggap sebagai pewarta pertama. Hal ini akan menumbuhkan rasa ingin instan dari setiap diri seseorang," jelasnya.
Dia menambahkan, menurut salah satu antropolog, masyarakat yang terlalu menghambakan dan mengandalkan diri pada teknologi akan mengalami mati kebudayaan dan fitrah kemanusiaannya.