Rabu 24 Jan 2018 17:23 WIB

Hikmah Perjalanan Hidup Firaun

Ajaran kebaikan pasti memiliki tantangan

Rep: Muhammad Nursyamsyi/ Red: Esthi Maharani
Gubernur NTB TGH Muhammad Zainul Majdi atau Tuan Guru Bajang (TGB) menyampaikan kajian tafsir Alquran usai shalat shubuh berjamaah di Masjid Hubbul Wathan, Kompleks Islamic Center NTB, Rabu (24/1).
Foto: Humas Pemprov NTB
Gubernur NTB TGH Muhammad Zainul Majdi atau Tuan Guru Bajang (TGB) menyampaikan kajian tafsir Alquran usai shalat shubuh berjamaah di Masjid Hubbul Wathan, Kompleks Islamic Center NTB, Rabu (24/1).

REPUBLIKA.CO.ID, MATARAM --  Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB), GH Muhammad Zainul Majdi menyempatkan diri menyampaikan kajian tafsir Alquran usai shalat subuh berjamaah di Masjid Hubbul Wathan, Kompleks Islamic Center NTB, Rabu (24/1).

Dalam kajiannya ini, TGB mengajak umat Islam senantiasa belajar dan mengambil hikmah dari kisah perjalanan hidup Firaun. TGB mengisahkan, selama menjadi penguasa pada masa itu, Firaun tidak pernah mau menerima dakwah dan seruan kebaikan yang disampaikan Nabi Musa AS. Bahkan, Firaun menganggap dirinya sebagai tuhan yang memiliki kekuasaan serta kekayaan yang melimpah. Secara fasih dan penuh khidmat, TGB melantunkan surat Az-Zukhruf ayat 51-54 dan mengupasnya lebih dalam.

"Di hadapan kaumnya, Firaun menyampaikan yang mengontrol kekuasaan, ekonomi, dan memiliki pasukan paling banyak dan kuat pada masa itu di Mesir itu adalah dirinya. Dakwah yang disampaikan Nabi Musa AS ditentang dengan kekuasaan dan kekayaan yang dia miliki," kata TGB di hadapan jamaah.

Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Wathan (PBNW) itu mengurai berbagai hikmah yang terkandung dalam surat tersebut. Pertama, ajaran-ajaran kebaikan yang mengajak pada satu perbaikan sosial atau ide besar menggagas kehidupan yang lebih baik pasti memiliki tantangan.

"Kalau dalam keseharian, kita ingin melakukan kebaikan, terus kita mendapat tantangan, halangan atau cercaan, maka jangan sampai itu menjadi halangan kita untuk melakukan kebaikan," lanjut TGB.

Kedua, perjalanan hidup Firaun yang diliputi kekuasaan, kewenangan, dan kekayaan seringkali disalahgunakan. Ketiga, tidak mengukur apa yang kita lakukan dengan hanya melihat materi.

"Jangan lihat siapa yang sampaikan, lihatlah substansi yang dia sampaikan. Ini mengajarkan kita untuk disiplin berpikir," ucap TGB.

Bagi TGB, apa yang disampaikan seseorang, jauh lebih penting daripada siapa orang yang menyampaikan kebaikan tersebut selama mengandung nilai kebenaran dan kebaikan, maka itu merupakan sebuah nasehat yang patut diterima.

Hikmah terakhir, sebagai mahluk yang hidup secara kolektif, maka saling mengingatkan itu merupakan sebuah kebutuhan dan keharusan. Sebab, kalau dalam masyarakat tumbuh sifat atau karakter ketidakberdayaan kolektif, maka suatu bangsa akan tidak dapat menangkal bahaya-bahaya yang timbul di masyarakat. Karena, masyarakat tidak lagi peduli dan bahkan bersikap apatis terhadap kezdoliman yang ada.

"Semangat koreksi dan nasehat tetap harus kita tumbuhkan pada diri masyarakat," kata TGB.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement