REPUBLIKA.CO.ID, KUALA LUMPUR -- Menjelang perayaan Tahun Baru Cina (Imlek), sejumlah usaha atau bisnis di multi-etnis Malaysia menyingkirkan gambar anjing pada produk dan pajangan mereka untuk menghindari kekacauan dari mayoritas Muslim di negara tersebut. Pada Februari mendatang, komunitas Tionghoa di Malaysia akan mengumumkan Tahun Anjing, salah satu dari 12 hewan dalam kalender zodiaknya.
Namun, sebuah foto baju kaus CNY yang diputar di media sosial dalam beberapa pekan terakhir menunjukkan gambar kartun anjing dan juga babi yang hilang di antara gambar hewan zodiak lainnya. Hal itu telah menciptakan kegemparan di kalangan netizen.
Meskipun, 10 hewan zodiak lainnya, seperti ayam jantan dan kelinci digambarkan dalam bentuk gambar lucu, Strait Times melaporkan bahwa kata-kata Cina "xu" dan "hai" tertulis menggantikan gambar anjing dan babi. Kaus tersebut dijual di Giant Hypermarket, yang memiliki lebih dari 110 toko di seluruh Malaysia. T-shirt itu pertama kali ditawarkan pada kisaran harga 15.99 Ringgit Malaysia (4 dolar AS). Namun, harganya mulai turun menjadi 10.88 RM (2,77 dolar AS).
Masalah ini telah menimbulkan reaksi yang beragam. Terutama, dari masyarakat Cina di Malaysia, yang menyumbang 21 persen dari 32 juta penduduk negara tersebut. Stephanie Kuan (23), seorang mahasiswa yang lahir di Tahun Babi, mengatakan bahwa langkah untuk mengecualikan gambar anjing didasarkan pada masalah sepele.
"Itu melebihi kewajaran dan agak kekanak-kanakan. Itu hanya kartun, bukan binatang sebenarnya," kata Stephanie, dilansir dari Asian Correspondent, Selasa (16/1).
Kevin Tan, Chief Operating Officer Sunway Malls, sebuah kelompok yang mengelola lima mal perbelanjaan utama di Malaysia, mengatakan kepada The Malaysian Insight bahwa malnya tidak menggunakan tampilan anjing apa pun pada 2006, selama siklus tahun anjing sebelumnya. Menurutnya, hal itu karena pertimbangan kreatif. Ia mengatakan, bahwa mereka memiliki banyak pilihan. Karenanya, mereka tidak harus menggunakan gambar seekor anjing.
"Budaya juga menjadi pertimbangan. Sebuah mal adalah ruang publik, ras yang berbeda akan dikumpulkan di sini. Kami akan menghindari hiasan dengan unsur-unsur yang diperdebatkan," kata Kevin.
Sementara itu, ilmuwan sosial negara tersebut juga dengan cepat menunjukkan peningkatan budaya dari penyensoran diri di kalangan non-Muslim di Malaysia, untuk menghindari sensitivitas subjektif terhadap Muslim. Yang mana, menurut mereka "tidak sehat".
"Ini telah tertanam di kalangan non-Muslim untuk menghormati kepekaan Muslim, tapi yang sensitif sering kali subjektif," kata ilmuwan politik pada Universitas Sains Malaysia, Azmil Tayeb.
Menuju perayaan Imlek tersebut, pemilik bisnis non-Muslim merasa perlu melakukan tanpa penggambaran tentang anjing dan babi. Karena mereka takut akan serangan balik dari hampir 20 juta populasi Muslim lantaran hewan tersebut dianggap najis di antara para pemeluk agama.
Tayeb mengatakan, hal itu jelas tidak sehat dan konyol. Menurutnya, toleransi tersebut bersifat satu arah karena adanya tahun intimidasi dari sejumlah otoritas. Karena itu, ia menilai hal tersebut juga berlebihan.
"Karena non-Muslim telah diberitahu berkali-kali untuk tidak menyinggung perasaan, mereka pikir ini adalah cara terbaik untuk menjadi aman daripada menyesal," kata pakar politik Islam di Asia Tenggara tersebut.
Kejadian di Malaysia ini serupa seperti di masa lalu. Pada Oktober 2016, otoritas agama di Malaysia menginstruksikan sebuah rantai makanan cepat saji AS untuk membawa anjing pretzel, atau setidaknya namanya dari menu makanan mereka untuk menghindari kebingungan di kalangan umat Islam di negara ini.
Rantai makanan cepat saji milik Bibi Anne diberi tahu oleh otoritas Islam, bahwa item populer bernama Pretzel Dog harus diganti namanya. Karena bisa membingungkan konsumen Muslim. Pretzel Dog adalah hot dog yang dibungkus dengan roti pretzel dan tidak berisi daging anjing.
Departemen Pengembangan Islam Malaysia malah menyarankan agar produk itu diganti namanya menjadi "Pretzel Sausage", sebagai bagian dari persyaratan untuk mendapatkan sertifikasi halal berdasarkan undang-undang makanan Islam.