Rabu 27 Dec 2017 21:30 WIB

Ibnu Khaldun Bertemu Timurlen Usai Baghdad Dihancurkan

Rep: Yusuf Assidiq/ Red: Agung Sasongko
Ilustrasi kota melingkar Baghdad di abad ke-10.
Foto: ist
Ilustrasi kota melingkar Baghdad di abad ke-10.

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Sebuah riwayat menarik ditorehkan Ibnu Khaldun. Riwayat menarik itu adalah ketika dia bertemu Timurlen (1336-1405), pemimpin bangsa Mongol. Kejadian berlangsung sekitar tahun 1401. Pasukan Mongol yang sebelumnya telah menghancurkan negeri-negeri Islam termasuk ibu kota Baghdad, mulai mengancam wilayah kekuasaan Dinasti Mamluk di Damaskus serta Kairo.

Ketika itu, Timurlen dan pasukannya masih mengepung Damaskus. Penguasa Dinasti Mamluk di Kairo, Sultan Faraj, berinisiatif melakukan perundingan dengan Timurlen. Ia pun berangkat ke Suriah bersama rombongan, termasuk pula Ibnu Khaldun. 

Damaskus tidak bisa bertahan lebih lama. Para pemimpin di sana bersedia berunding dengan Timurlen. Salah satu butir kesepakatan adalah kota itu tunduk di bawah kekuasaan Mongol, namun tetap dipimpin oleh gubernur dari kalangan Muslim yang ditunjuk Timurlen. 

Hanya saja, setelah beberapa lama Timurlen tidak juga menepati kesepakatan. Sementara itu, Sultan Faraj terpaksa kembali ke Kairo karena terjadi kekacauan besar. Jadilah Ibnu Khaldun yang waktu itu telah berusia 70 tahun dipercaya meneruskan perundingan.

Ia pun mencoba menemui Timurlen. Dikisahkan pada risalahnya yang bertajuk Biography, ada motivasi lain yang mendorong Khaldun bersemangat untuk bertemu Timurlen. Dia ingin menggali pengetahuan langsung dari penguasa ini, terutama mengenai sejarah bangsa Mongol.

Khaldun diterima oleh Timurlen, yang telah berusia 60-70 tahun, di tendanya dalam sebuah jamuan besar. Sekilas menyaksikan sosok pemimpin Mongol itu, Khaldun bisa menduga bahwa orang tersebut sangat cermat dan punya rasa ingin tahu yang besar.

Segera saja kedua tokoh itu terlibat dalam serangkaian pembicaraan dan diskusi. Ibnu Khaldun diketahui tinggal di perkemahan bangsa Mongol selama 35 hari. Ia hanya ditemani seorang penerjemah bernama Abd al-Jabbar al-Khwarizmi, yang wafat pada 1403.

 

Di sela tugas diplomasi, banyak topik lain yang mereka bahas. Sejarawan kontemporer, Walter Fischel, mencatat enam hal di antaranya, yakni kondisi wilayah Maghribi (Afrika Utara), pahlawan-pahlawan masa silam, prediksi di masa depan, kekuasaan Dinasti Abbasiyah, serta amnesti bagi Ibnu Khaldun dan warga Damaskus.

Timurlen juga membicarakan kemungkinan Ibnu Khaldun mengabdi kepadanya. Permintaan itu sulit dipenuhi. Khaldun kemudian memberikan hadiah berupa Alquran dan seperangkat peralatan shalat. Setelah itu, ia kembali ke Kairo dan membawa hasil perundingan yang menguntungkan bagi penduduk Damaskus.

Cendekiawan besar ini kembali dipercaya menduduki jabatan hakim agung di Kairo. Pada 1406, Ibnu Khaldun wafat pada usia 74 tahun dan dimakamkan di pemakaman Bab an-Nasr.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement