Selasa 12 Dec 2017 16:00 WIB

Melawan Pembohong

Rep: Erdy Nasrul/ Red: Agung Sasongko
Bohong/ilustrasi
Foto: dont-tread-on.me
Bohong/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Zaid bin Khattab adalah saudara dari Umar bin Khattab, tepatnya kakak laki-laki nya. Kakak Abu Hafs ini men dapatkan kehor mat an mati syahid tepat di hadapan adik nya.

Zaid merupakan keturunan Bani Adi, Suku Quraisy dari kabilah Kinanah. Zaid hijrah ke Madinah bersama saudaranya Umar, Ayyasy, Abu Rabi'ah, Khunais bin Hadzaqah as-Sahmi suami dari Hafshah binti Umar, Said bin Zaid, dan empat anak al-Bukair: Iyas, Aqil, Amir, dan Khalid dari Bani Laits al- Kinaniyah.

Ketika sampai di Madinah, dia bertemu dengan Rifa'ah bin Abdul Mundzir di Quba. Rasulullah kemudian mem persaudarakan antara Zaid dan Ma'an bin al-Anshari al-Ajlani. Dia ada lah pahlawan yang tindakannya berbicara lebih keras daripada katakata. Imannya kepada Allah dan rasul sangat kuat dan teguh.

Dia tidak pernah tinggal jauh dari Rasul. Dalam setiap pertempuran dia memilih menjadi syahid dibanding sekadar meraih kemenangan. Pada perang Uhud, saat baku-hantam antara orang-orang beriman dan musyrik sangat sengit, Zaid berjuang dengan berani. Ketika itu Umar melihat perisai kakaknya jatuh. Seketika itu dia sedih karena melihat kakaknya begitu dekat dengan musuh.

Dia berharap dapat mengambil perisai itu dan membawanya kepada Zaid. Namun sang kakak menolak karena ingin memilih syahid. Dia terus berjuang tanpa perisai dengan kepahlawanan yang menakjubkan, sehingga selamat.

Memerangi kafir

Suatu hari Rasulullah duduk ber sama sekelompok umat Islam. Saat mereka sedang berbicara, Rasulullah berhenti sejenak, lalu berbicara kepada me reka yang duduk di sekelilingnya, "Di antara kalian ada seorang pria yang akan masuk neraka dan gigi gerahamnya lebih besar dari pada Gunung Uhud." Rasa takut muncul di wajah semua orang yang hadir karena menjadi orang yang disebutkan Rasulullah tersebut.

Tahun demi tahun berlalu. Semua sa habat mati syahid kecuali Abu Hurairah dan ar-Rajjaal bin `Unfuwah, yang masih hidup. Abu Hurairah sangat ketakutan dengan ramalan itu dan tidak merasa nyaman sampai takdir mengungkapkan rahasia orang malang itu, ar-Rajjaal yang murtad dari Islam dan bergabung dengan Musailamah pendusta.

Suatu hari, ar-Rajjaal pergi ke Rasulullah dan mengakuinya sebagai utusan Allah serta mempelajari ajaranajaran Islam. Kemudian dia pergi ke bangsanya, tapi tidak kembali ke Madinah sampai Rasulullah wafat. Setelah Abu Bakar menjadi khalifah, Rajal menemui Abu Bakar.

Ar-Rajjaal mengatakan kepada Abu Bakar bah wa dia menceritakan tentang penduduk Yamahamah yang mendukung Musailamah dan mengusulkan agar dia dikirim ke sana sebagai utusan untuk menegaskan Islam di antara mereka. Khalifah memberinya izin, kemudian dia pergi ke daerah itu.

Ketika melihat banyak pendukung Musailamah, dia percaya bahwa mereka akan menjadi pemenang, sehingga mening galkan Islam. Rajjal bergabung dengan Musailamah yang menjanjikan masa depan makmur.

Rajjal lebih berbahaya bagi Islam daripada Musailamah sendiri karena dia mengeksploitasi hubungan sebelum nya dengan Islam. Ketika tinggal dengan Rasulullah di Madinah dia menghafal banyak ayat Alquran, dan sempat menjadi perantara Abu Bakar.

Rajjal mengeksploitasi semua hal itu untuk tujuan jahat dan dengan licik mendukung dan menegaskan kedaulatan Musailamah dan kenabiannya yang salah.

Rajjal berbohong kepada banyak orang, bahwa dia mendengar Rasulullah berwasiat Musailamah merupakan nabi penerus Muhammad. Jumlah pendukung Musailamah meningkat karena kebohongan Rajjal dan eksploitasi liciknya terhadap hubungan sebelum nya dengan Islam dan Rasulullah SAW. Ketika berita tentang Rajjal sampai di Madinah, orang-orang Muslim sangat marah. Sebab kebohongan seorang murtad jauh lebih berbahaya.

Kata-kata dan perbuatan jahatnya memperluas perang dan konflik yang dilakukan umat Islam dengan musuh. Zain bin Khattab merupakan orang yang paling cemas dan bersemangat ber temu dengan Rajjal. Dia ingin mengakhiri hidup Rajjal yang jahat itu.

Menurut Zaid, Rajjal bukan hanya murtad tapi juga seorang munafik. Zaid seperti saudaranya Umar bin Khattab benci akan kemunafikan dan kebohong an, terutama saat kemunafikan ditujukan untuk keuntungan dan maksud jahat. ed: erdy nasrul

Perang Yamamah Melawan Rajjal

Zaid mempersiapkan dirinya untuk syahid setelah memusnahkan kejahatan Musailamah dan Rajjal bin Unfuwah yang licik. Perang yang terjadi pada 12 Hijriyah ini mencuri perhatian besar. Saat itu Khalid bin Walid menjadi komandan pasukan.

Di tengah peperangan, pasukan diarahkan untuk meninggalkan Zaid bin Khattab yang sedang melawan Bani Hanifah, pengikut Musailamah. Semula peperangan memihak orang musyrik karena banyak Muslim yang mati syahid. Zaid pun melihat korban yang jatuh terluka dan sedih. Kemudian dia mendaki bukit, menangis dan bersumpah, tidak akan berbicara kepada siapa pun sebelum Allah mengalahkan mereka atau dia sendiri yang syahid.

Satu-satunya tujuan adalah membunuh Rajjal dengan menembus tentara musuh. Saat melihatnya dia langsung menyerang, tetapi pasukannya menyembunyikan Rajjal kemudian dia mengejarnya agar tidak melarikan diri. Zaid pun berhasil memenggal kepalanya.

Setelah melihat Rajjal mati, Musailamah dan koleganya ketakutan. Zaid telah memukul mundur pasukan Musailamah. Karena dengan terbunuhnya Rajjal terbuktilah kebohongan mereka. Umat Islam yang mendengarnya pun bangkit dan bersemangat kembali mengangkat senjata. Zaid berdoa memohon bantuan Allah karena pihak la wan hampir kalah. Kemudian dia melanjutkan kem bali peperangan dan tetap menjaga sumpahnya.

Umat Islam diuntungkan dengan pertarungan ini. Zaid pun meminta syahid pada perang Yamamah ini. Allah pun mengabulkannya. Tentara Islam menang dan kembali ke Madinah. Sementara Umar dan Khalifah Abu Bakar menyambut mereka yang kembali. Umar kemudian mencari saudara laki-lakinya.

Zaid begitu tinggi sehingga bisa dikenali dengan mudah. Tapi sebelum melihatnya, seorang Muslim yang kembali mendekat dan menghiburnya. Umar berkata, "Semoga Allah mengasihimu ya Zaid, dia mendahului saya dalam dua hal. Dia memeluk Islam di hadapanku dan mendapatkan syahid di hadapanku juga."

Umar al-Faaruuq tidak pernah melupakan saudaranya. Abu Hafs selalu berkata, "Di mana pun angin timur bertiup, saya mencium aroma Zaid. Di mana pun angin kemenangan meniupkan Islam sejak hari Yamamah, saya mendapatkan aroma, perjuangan, kepahlawanan, dan kehebatan Zaid dalam angin ini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement