Ahad 10 Dec 2017 06:36 WIB

Hakikat Cinta

Rep: A Syalaby Ichsan/ Red: Agung Sasongko
Ilustrasi cinta.
Foto: Republika/Prayogi
Ilustrasi cinta.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam bukunya, Taman Para Pecinta, Ibnu Qayyim Al Jauziyyah menyebut cinta mempunyai banyak nama. Salah satunya adalah 'mahabbah'. Kata ini memiliki beberapa makna sekaligus. 'Mahabbah' disebut sebagai bersih, bening, dan murni. Gigi yang putih dan indah akan dikatakan seorang Arab dengan sebutan 'mahabbah.' Ada juga yang menyebut 'mahabbah' berasal dari kata 'habab.' Artinya, air yang meninggi saat hujan deras. 'Mahabbah' pun diartikan sebagai "luapan dan gejolak hati yang berkobar karena ingin bertemu dengan yang ia cintai (kekasih)".

Ada pula yang berpendapat bahwa 'mahabbah' berasal dari kata 'hubb.' Artinya, empat tonggak kayu yang dipancang untuk menopang sesuatu di atasnya. Contohnya guci, tempayan, dan sebagainya. Cinta pun dikatakan sebagai 'hubb' karena seorang pencinta sanggup menanggung beban bagi orang yang dia cintai.

Cinta menjadi media dari penciptaan. Usai diciptakan Allah SWT, Adam sendirian di surga. Konon, dia merasa kesepian. Hawa pun diciptakan untuk menemaninya. Adam dan Hawa pun turun ke bumi usai memakan buah khuldi. Dengan cintanya, mereka lantas beranak pinak. Habil, Qabil, Iqlima, dan Labuda menjadi buah cinta mereka. Lantas, mereka pun saling menikah hingga melahirkan kembali keturunan hingga sampai sanadnya kepada kita.

"Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan daripadanya dia menciptakan pasangannya, agar dia merasa senang kepadanya.."(QS al-Araf [7]: 189). Said Quthb dalam tafsir Fi Dzilalil Quran menjelaskan, pada dasarnya pertemuan suami istri bersifat menyenangkan dan menenteramkan. Kesenangan ini pun menyelimuti rahim tempat tumbuhnya embrio sehingga menghasilkan anak manusia yang berharga. Anak ini pantas menjadi generasi muda untuk mengemban warisan peradaban manusia.

Pertemuan ini pun disebut bukan semata-mata mendapatkan kenikmatan dan memenuhi keinginan. Bukan untuk menciptakan perpecahan dan permusuhan. Percintaan ini memiliki misi yang suci untuk membangun peradaban. Sebagaimana kelanjutan ayat di atas ".. Maka, setelah dicampurinya, istrinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah ia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian, tatkala dia merasa berat, keduanya (suami istri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata, 'Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang sempurna, tentulah kami termasuk orang-orang yang bersyukur'."( QS al-Araf [7]: 189).

Kalimat ini merupakan ungkapan serasi untuk menggambarkan kondisi hubungan yang berlangsung dengan perasaan riang. Juga untuk menggambarkan kelembutan aktivitas mereka. Tampaklah bersatunya perasaan mereka, bukan sekadar pertemuan badan. Ungkapan ini pun menggambarkan manusia dengan gambaran kemanusiaannya dalam melakukan hubungan dan untuk membedakannya dari gambaran kebinatangan yang kasar.

Dalam ayat lainnya, Allah SWT pun menyeru kepada manusia mengenai tujuan penciptaan. Lewat cinta laki-laki dan perempuan, manusia pun menjadi berbangsa dan bersuku-suku. Bukan ras, warna kulit, bahasa, bangsa, dan sukunya itu yang membuat mereka mulia, melainkan ketakwaannya kepada Allah SWT.

"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang wanita serta menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal." (QS al-Hujurat [49]: 13).

Pada era di mana kebencian begitu mudah diumbar seperti sekarang, sudah selayaknya kita kembali merenung tentang hakikat kita sebagai manusia. Apakah kita diciptakan  lewat kebencian atau kasih sayang?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement