REPUBLIKA.CO.ID, LAGOS -- Sedikitnya 2.000 aktivis Muslim turun ke jalan-jalan di ibu kota Nigeria, Lagos. Dalam aksi turun ke jalan tersebut, mereka menyerukan solidaritas terhadap masyarakat Palestina, Kashmir, dan komunitas minoritas Muslim Rohingya di Myanmar.
Aksi massa pada Hari Solidaritas Al-Aqsa 2017 itu dihadiri oleh para intelektual Muslim terkemuka dan pemimpin agama yang berpengaruh di Nigeria. Mereka menyerukan agar badan dunia menanggapi seruan orang-orang yang teraniaya, khususnya penduduk Palestina.
Ketua Kepedulian Muslim Internasional (MAI), Waheed Atoyebi, mengatakan, bahwa nasib orang-orang Palestina dan minoritas Muslim di seluruh dunia telah menghadapi penganiayaan. Bahkan dalam kasus-kasus ekstrim, terdapat pembersihan etnis dan genosida seperti yang terjadi di Myanmar.
"Kemunafikan dunia sedemikian rupa, sehingga referendum diamankan untuk Sudan Selatan untuk melepaskan diri dari Sudan. Sementara orang Kashmir telah menunggu dengan sia-sia untuk sebuah referendum untuk menentukan nasib mereka. Karena India menggunakan segala bentuk dalih untuk mencegah dan membatalkan pergerakkan semacam itu. Kami melihat mereka berkata ramah di mulut saja terhadap penderitaan orang-orang Muslim Palestina," kata Atoyebi, dilansir dari World Bulletin, Sabtu (2/12).
Atoyebi mengatakan, bahwa Hari Al-Aqsa 2017 itu bertepatan dengan 100 tahun saat Inggris melalui Deklarasi Balfour menyetujui pendirian sebuah tanah air bagi kaum Yahudi di Palestina. Ia menyebut hal itu sebagai bentuk penipuan dan ketidakjujuran serta perampokan di siang hari. Atoyebi juga mengkritik keputusan institusi akademis di Inggris, yang memungkinkan elemen Zionis menggunakan tempat mereka untuk memperingati peristiwa yang dinilai paling tragis dalam sejarah.
Sementara itu, Ismail Busayri, seorang ulama terkemuka, meminta para pemimpin dunia dan PBB mengatasi penderitaan masyarakat yang teraniaya. Busayri berbicara tentang topik 'Keadilan Selektif; Sejarah, Relevansi, dan Signifikansi Perjuangan Palestina' dalam sebuah khutbah Shalat Jumat, guna menggalang dukungan bagi kaum minoritas.
Di sisi lain, Tajudeen Yusuf, seorang akademisi dari Universitas Lagos, mengatakan, bahwa orang-orang Palestina menghadapi 'perampasan eksistensi dan pemusnahan militer'. Karena itu, dia meminta agar dunia bertindak untuk mengakhiri penderitaan mereka.