REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pemerintahan demokratis pasca-revolusioner telah mengakui keprihatinan masyarakat, dan mengidentifikasi madrasah sebagai alat yang memungkinkan untuk memperbaiki akses terhadap pendidikan di kalangan umat Islam.
Dewan madrasah dibentuk pada tahun 2007 dan kursus juga tersedia dalam bahasa Urdu, yang menjadi bahasa yang mereka pakai. Pemerintah menjanjikan bantuan keuangan untuk mendaftarkan madrasah dengan syarat mereka akan mengajar sains, matematika, bahasa Inggris dan bahasa Nepal.
Tapi hampir satu dekade setelah kebijakan tersebut diumumkan, lebih dari separuh dari 2.000 madrasah di Nepal belum terdaftar, dan mereka yang mengeluhkan bantuan yang tidak memadai.
Badre Alam Khan, yang mengelola Aisha Banat, madrasah menengah bahasa Inggris untuk anak perempuan, mengatakan bahwa bantuan pemerintah tidak mencukupi. Madrasah, yang dibuka dengan enam siswa di tahun 2006, sekarang mengajar 406 anak perempuan. Yang lain ingin bergabung tapi kekurangan infrastruktur dan guru berarti sekolah tidak dapat menerima siswa lagi, kata Khan.
Parveen percaya bahwa kemiskinan membuat banyak umat Islam di negara tersebut tidak mengejar pendidikan tinggi.
Abdul Qawi, seorang pekerja sosial berusia 36 tahun, percaya bahwa program khusus seperti pendidikan gratis, hostel dan beasiswa dibutuhkan untuk mengangkat umat Islam keluar dari kemiskinan.
"Tapi semua itu tidak dilakukan," katanya.