REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Meski sebagai sahabat Nabi SAW yang berilmu luas, Abu Hurairah hidup sangat bersahaja. Bahkan, ia tidak jarang menghadapi saat-saat sulit dan kelaparan selama menimba ilmu. Abu Hurairah merupakan salah satu golongan Shuffah.
Dr Sauqi Abu Khalil dalam Athlas al-Hadith Al-Nabawi menjelaskan, Shuffah adalah tempat berteduh di Masjid Nabawi yang dikhususkan bagi kaum miskin semasa Nabi SAW usai berhijrah dari Makkah ke Madinah.
Mayoritas penghuninya berasal dari kaum Muhajirin. Sebagai informasi, orang-orang yang menyertai Nabi SAW berhijrah itu kebanyakan hanya pandai berdagang dan meninggalkan semua hartanya di Makkah.
Sementara, penduduk Madinah, yakni kaum Anshar, pada umumnya pandai bertani. Shuffah dimaksudkan agar kaum Muhajirin yang belum mendapatkan pekerjaan bisa mendapatkan uluran bantuan.
Abu Hurairah menceritakan kelaparan berat yang dirasakannya pada suatu kali. Namun, ia tetap bersabar. Apalagi, Baginda Nabi Muhammad SAW dan keluarganya juga hidup dalam kondisi yang tidak berbeda dengan golongan Shuffah.
Demi Allah yang tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Dia, aku pernah menempelkan perutku ke tanah karena lapar dan mengikat batu di perutku, kata Abu Hurairah seperti dikutip dari Al-Bidayah wa an-Nihayah.
Pada tahun 59 Hijriyah, Abu Hurairah wafat lantaran sakit. Seluruh umat Islam, khususnya penduduk Madinah, berdukacita atas kehilangan seorang ulama dan pengamal zuhud yang begitu dekat dengan Rasulullah SAW. Abu Hurairah hidup sekitar 50 tahun sesudah Rasulullah SAW.
Sebagai perawi hadis, Abu Hurairah tidak mengharapkan apa-apa selain ridha Allah Ta'ala. Dia bersikap zuhud terhadap dunia. Ia merupakan salah seorang sahabat pendidik yang berhasil menumbuhkan semangat keilmuan generasi tabiin dan tabi'-tabiin.