REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada usia 33 tahun, Imam Ghazali diamanahi sebagai kepala Universitas Nizamiyya di Baghdad. Dia menjadi sosok yang berpengaruh. Bahkan, kalangan kerajaan banyak meminta saran darinya. Inilah puncak karier Imam Ghazali berkat kerja kerasnya menuntut ilmu. Filsafat merupakan salah satu kajian favoritnya.
Tetapi, posisinya yang dalam puncak kemapanan justru memunculkan kegelisahan batin. Ia lantas memutuskan meninggalkan Baghdad dan berkelana mencari ketenangan spiritual.
Imam Ghazali menulis,
Dalam enam bulan saya dalam keadaan yang dirundung cemas luar biasa, sampai-sampai saya tak bisa bicara, makan, atau mengajar.
Saya sampai pada kesimpulan bahwa kebahagiaan di akhirat takkan bisa tanpa takwa, mengendalikan hawa nafsu. Dan semua ini hanya bisa tercapai bila kecintaan terhadap dunia disudahi. Sampai kita mengabaikan dunia dan merindukan akhirat. Saat memikirkan diri sendiri, saya merasa begitu dekat dengan dunia. Saat saya mempelajari alasan saya mengajar, saya merasa itu semata-mata karena saya mengejar status. Saya yakin berada di pinggir jurang bahaya.
Imam Ghazali meninggalkan Baghdad dan menuju Suriah pada 488 Hijriyah (1096 Masehi). Dari keputusan itulah, perjalanan spiritual dan intelektualnya kian terasah.
Di Damaskus, Imam Ghazali hidup sendirian dan menghabiskan hari-hari dengan beribadah. Dia akan menyusuri tangga naik di menara MasjidAgung Umawiyah. Di sana, ia seharian merenung dan beribadah.
Di masjid yang sama, ia juga mengajar beberapa murid. Dua tahun kemudian, Imam Ghazali bertolak ke Yerussalem dan tinggal di Kubah Batu. Lantas, ia berjalan ke Kota Khaleef di Tepi Barat.