REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Negara Saudi Arabia diprediksi bakal runtuh beberapa tahun mendatang. Perkiraan tersebut muncul karena dinamika politiknya menimbulkan blunder.
"Kebijakan politik Saudi kerap blunder. Sekira tahun 2020, pengaruh Saudi akan hancur di kalangan negara Timur Tengah," cetus Ketua Jurusan Ilmu Politik dan Administrasi Umum American University of Beirut (AUB) Prof. Dr. Hilal Khashan, Ph.D. dalam Seminar Internasional "The Dynamics of Middle Eastern Politics" di Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia (SKSG UI), dalam siaran pers yang diterima, Kamis (23/11).
Kashan blak-blakan menunjuk negara petrominyak tersebut sebagai poros utama yang memperburuk hubungan regional negara Timteng. Contoh terhangat terlihat dalam pusaran politik Lebanon sekira dua bulan terakhir terhadap PM Hariri. Gambaran politik Lebanon terbagi berdasarkan kesepakatan pakta nasional antarsekte dimana Presiden harus dijabat kalangan Kristen Maronit, perdana menteri dari Islam Sunni, dan kepala parlemen dari Syiah.
Menurut sumber terpercaya Kashan, PM Hariri ditekan dari Riyadh, Saudi Arabia. Informasi tersebut, katanya, memerlihatkan bahwa Saudi takut Iran mulai berkuasa di Lebanon karena pihak parlemen mulai menguat dibandingkan eksekutif. Di sisi lain, lanjutnya, Hariri dinilai oleh Saudi menerima Syiah sebagai bagian pemerintahannya secara terbuka.
"Hariri berkebangsaan Saudi sehingga Saudi melihat sisi kewarganegaraan lebih penting. Ini upaya memecah belah Lebanon dan negara Barat mendorong agar Lebanon bisa berdiri sendiri,"ungkap Kashan.
Hariri pun sempat berangkat ke Prancis dahulu untuk memastikan dukungan. Sekembalinya ke Lebanon, Hariri bersyarat agar jika undur diri jika telah bersepakat dengan beberapa pihak.
Satu lagi kesalahan Saudi ketika meminta paramilitan yang disandera Suriah agar dibebaskan. Grup paramilitan ini malah membentuk organisasi ekstrem Jabatun Nusro yang menjadi oposisi Suriah. Lalu Suriah minta bantuan Iran. Di sisi lain, Saudi mempersenjatai Nusro agar tetap berperang dengan Iran.
Dari beberapa dinamika tersebut, Kashan menganalisa bahwa kekuasaan poros Timteng lemah karena tidak adanya kesepakatan bersama. "Terbukti dengan konflik Palestina yang tidak berujung. Masing-masing negara berkonflik ketika Palestina mulai dikuasai Israel sehingga pada 1942 sepertiga Yahudi tinggal di Palestina dan terbentuk Israel pada 1948 sebagai antek Inggris menjaga perbatasan Afrika Utara dan Asia Barat tersebut," katanya.
Bersamaan dengan itu terjadi revolusi di beberapa negara Timteng dan para jenderal lebih mementingkan perubahan kekuasaan. Termasuk Saudi Arabia yang hingga kini selalu karut marut di internalnya.
Direktur SKSG UI Dr. Muhammad Luthfi Zuhdi menilai, dinamika politik Timteng paling menarik dan tak berujung serta tak diperhitungkan. "Umat Islam yang tak memperhatikanTimteng akan terseok-seok,” kata dia.
Ia merujuk kepada konstelasi politik terpanas saat ini ketika Saudi dengan sosok pangeran Mohammad bin Salman yang berani menggulingkan para tetua dan orang berpengaruh di negaranya. ”Ini bukti nyata bahwa peta kekuatan aliran Islam tidak mesti terjadi seperti kasus Sunni-Syiah,"kata Luthfi.