Jumat 17 Nov 2017 04:10 WIB

Tunjangannya Dinaikkan, Khalifat Umar Justru Marah

Rep: Mgrol97/ Red: Agus Yulianto
 Masjid Umar bin Khatab (kiri) di Yerusalem, Palestina (Ilustrasi)
Foto: Muqata.com/ca
Masjid Umar bin Khatab (kiri) di Yerusalem, Palestina (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Ketika gaji seseorang dinaikan mayoritas akan merasa senang. Namun, berbeda dengan khalifah Umar, ia justru marah saat anaknya bicara padanya mengenai hal tersebut.

Dikisahkan dari buku “Himpunan Fadhilah Amal” karya Maulana Muhammad Zakariyya al-Kandahlawi Rah.a  bahwaUmar bin Khatab untuk memenuhi kebutuhan dirinya dan keluargannya didapatkan dengan cara berdagang. Ketika ia menjadi khalifah, keperluannya dipenuhi dari Baitul Mal.

Ia mengumpulkan rakyatnya di Madinah Munawwarah, lalu berkata, “Aku biasa berdagang, dan sekarang kalian telah memberiku kesibukan sehingga aku tidak dapat berdagang lagi. Sekarang bagaimanakah dengan mata pencaharianku?”

Orang-orang berselisih pendapat tentang jumlah tunjangan Umar ra. sedangkan Ali ra hanya berdiam diri. Umar ra bertanya kepadanya, “Bagaimanakah pendapatmu, wahai Ali?” Jawa Ali, “Ambillah uang sekedar dapat mencukupi keperluan keluargamu.” Umar ra sangat menyetujui Ali ra, maka ditentukanlah uang tunjangan untuk Umar ra.

Beberapa lama kemudian, sahabat termasuk Ali, Utsman, Zubair, dan Thalhah ra mengusulkan agar uang tunjangan Umar ra. ditambah karena terlalu sedikit. Tetapi tidak seorang pun yang berani mengemukakannya secara langsung kepada Umar ra.

Akhirnya mereka menemui Hafshah r.ha, putri Umar ra sekaligus ummul-Mukmimin istri Rasulullah SAW. Mereka meminta agar ia mengajukan usul tersebut kepada Umar ra tanpa menyebutkan nama-nama mereka. Ketika Hafshah r.ha mengajukan usul tersebut, wajah Umar ra langsung memerah karena marah.

Umar ra bertanya, “Siapakah yang mengusulkan ini?” sahut Hafshah r.ha, “Jawablah dulu bagaimana pendapatmu.” Umar ra berkata, “Andaikan aku tahu siapa mereka, niscaya akan aku ubah muka mereka (memberikan hukuman yang membekas di wajah).”

Kemudian ia meminta Hafshah untuk menceritakan keadaan Nabi SAW semasa hidupnya dengannya. Maka, Hafshah mengatakan, bahwa beliau memiliki dua pakaian berwarna kemerahan yang biasa beliau kenakan pada hari Jumat atau ketika menemui tamu.

Kemudian makanan terlezat yang pernah dimakan oleh Nabi SAW adalah roti yang terbuat dari tepung kasar lalu dicelupkan ke dalam kaleng berisi minyak. Hafshah dan Rasulullah memakannya ketika masih panas, kemudian dilipat menjadi beberapa lipatan.

Pernah pada suatu hari Hafshah menyapu sepotong roti dengan bekas-bekas minyak samin yang terdapat dalam sebuah kaleng minyak hampir kosong. “Beliau memakannya dengan penuh kenikmatan dan Beliau juga ingin membagi-bagikannya kepada orang lain,” ujar Hafshah.

Alas tidur terbaik yang pernah digunakan oleh Rasulullah SAW adalah sehelai kain tebal. Pada musim panas, kain itu dilipat empat. Pada musim dingin dilipat dua, separuh digunakan untuk alas tidurnya dan separuh lagi untuk selimutnya.

Umar ra berkata, “Nah Hafshah, sekarang pergilah dan katakan kepada mereka bahwa Nabi SAW telah menunjukkan contoh kehidupan yang terbaik dan mencukupkan diri dengan mengharapkan akhirat, dan aku harus mengikutinya.”

Umar ra mengumpamakan ia dan dua orang sahabatnya yakni Rasulullah SAW dan Abu Bakar ra adalah tiga orang musafir yang sedang melalui sebuah jalan yang sama. Musafir yang pertama (Rasulullah SAW) telah melalui jalan tadi dan telah sampai ke tempat tujuan. Demikian juga musafir yang kedua (Abu Bakar ra) telah mengikuti jalan orang yang pertama, sehingga ia pun telah sampai ke tempat tujuan.

“Dan yang ketiga, baru memulai perjalanannya. Jika ia (Umar ra) menempuh jalan yang telah ditempuh orang-orang sebelumnya, maka ia akan menjumpai keduanya di tujuan yang sama. Jika ia tidak menempuh jalan orang-orang yang mendahuluinya, tentu ia tidak akan sampai ke tempat mereka,” ujar Umar ra.

 

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement