REPUBLIKA.CO.ID, BEKASI -- Konferensi Internasional Mushaf Alquran yang digelar Lajnah Pentashihan Mushaf Alquran (LPMQ) Balitbang-Diklat Kemenag, telah usai. Konferensi yang diikuti para pakar Alquran, dalam dan luar negeri ini melahirkan enam rekomendasi. Rekomandasi ini dibacakan perwakilan peserta Badri Yunardi pada acara penutupan, Kamis (16/11).
Konferensi ini berlangsung tiga hari, 14-16 Nopember 2017 di Bekasi. Event kali kedua ini mengangkat tema “Mushaf Alquran Standar dalam Perspektif Ilmu Rasm, Dabt, dan Waqf wa Ibtida’.
Sebanyak 43 peserta hadir. Mereka terdiri dari unsur pondok pesantren Alquran, perguruan tinggi dan lingkungan Kementerian Agama, termasuk narasumber luar negeri, yaitu: dari Yordania, Al-Jazair dan Pakistan.
Berikut ini enam butir rekomendasi Konferensi Internasional Mushaf Alquran Standar:
Pertama, salah satu bentuk upaya umat Islam dalam menjaga Alquran sejak diturunkan selain menghafalkan adalah menyalinnya dalam bentuk tulisan. Setiap penulisan Alquran hendaknya merujuk pada sistem penulisan (rasm) Alquran seperti yang telah dilakukan pada masa Usman bin ‘Affan yang kemudian banyak diriwayatkan oleh Imam Abu Amar ad-Dani dan Abu Dawud Sulaiman Ibn Najah. Setiap penulisan Alquran dengan rasm usmani dapat dibenarkan selama terdapat riwayat yang dijadikan rujukan.
Kedua, sejak awal perumusannya pada tahun 1974, Mushaf Standar disepakati oleh para ulama Indonesia ditulis dengan Rasm Usmani. Namun hingga ditetapkan, belum tersedia penjelasan secara ilmiah dan komprehensif terkait riwayat rasm yang digunakan. Berdasarkan hasil kajian tim Lajnah pada tahun 2017 ini disimpulkan bahwa Rasm Usmani Mushaf Standar lebih mempunyai kesesuaian dengan riwayat Imam Ad-Dani, salah satu riwayat yang masih dipakai dalam penulisan Alquran di dunia Islam dengan tingkat kesesuaiannya mencapai 91 persen. Atas dasar itu, upaya penyempurnaan lebih memungkinkan jika diarahkan kepada riwayat ad-Dani, meskipun membuat edisi mushaf dengan mengacu riwayat Abu Dawud tetap dapat dimungkinkan sebagai bentuk upaya melestarikan seluruh riwayat Rasm Usmani yang pernah ada.
Ketiga, dalam melakukan penyempurnaan, perlu ada kerangka acuan atau panduan yang dapat dijadikan pedoman, yaitu sebagaimana beberapa hal berikut: (a). Mendahulukan riwayat yang disepakati (muttafaq ‘alaih); (b) Jika terjadi pendapat (mutkhtalaf fihi), maka dipilih riwayat ad-Dani; dan (c) Jika tidak ditemukan pada riwayat ad-Dani, maka dicarikan sandarannya dari sumber lainnya.
Keempat, penyempurnaan dilakukan oleh tim yang dibentuk oleh Lajnah dengan melibatkan para pakar yang terkait dan dilakukan dengan perencanaan yang matang dan target yang jelas. Hasil penyempurnaan dibahas pada forum berikutnya dengan menghadirkan representasi dari pondok pesantren, perguruan tinggi, dan lembaga-lembaga terkait.
Kelima, penyempurnaan yang harus dilakukan dalam rangka penguatan landasan ilmiah Mushaf Standar tidak berhenti pada aspek rasm saja, namun juga pada aspek dabt dan waqf wa ibtida’. Penyempurnaan pada aspek rasm tetap harus menjadi prioritas.
Keenam, setiap upaya penyempurnaan Mushaf Standar selain mempertimbangkan aspek ilmiahnya, juga perlu memperhatikan aspek kemudahan, kearifan lokal, dan implikasi bagi seluruh stakeholder yang terkait.