REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Richard Alba, profesor sosiologi terkemuka pada CUNY Graduate Center di New York, AS, dalam artikelnya di situs Handelsblatt Global, mengemukakan seiring waktu, banyak anak-anak dan cucu para imigran di Jerman cenderung berasimilasi atau berbaur dengan budaya setempat. Hal itu terbukti dengan melonjaknya anggota Dewan Perwakilan Rakyat Federal Jerman atau disebut Bundestag yang berlatar belakang Turki sejak 2000, yang hitungannya sekarang mencapai 14 orang.
Seiring mereka berintegrasi dengan kebudayaan setempat, banyak dari umat Islam yang mengadopsi gagasan utama Barat, yakni tentang pemisahan antara negara dan agama serta kesetaraan gender.
Namun, Alba menilai umat Islam akan terus mengalami hambatan yang lebih besar untuk melakukan pendekatan dalam membangun dan mengembangkan sebuah lingkungan yang semakin terbuka di Jerman. Kalau pun mobilitas sosial terjadi di kalangan Muslim kelahiran Jerman, banyak kalangan mayoritas Jerman asli yang justru berpendapat bahwa Muslim tidak akan pernah cocok dengan masyarakat Jerman.
Sementara itu, sebagian besar Muslim generasi kedua di Jerman juga tidak mendukung Islam yang terpolitisasi. Walapun, sebagian kecil Muslim melakukannya.
Di sisi lain, Alba mengatakan perasaan dirugikan dan dikucilkan yang dialami oleh sejumlah generasi Muslim kedua di Jerman tersebut telah menciptakan kumpulan sasaran potensial bagi tumbuhnya doktrin fundamentalis dan kelompok Muslim ekstrimis. Aksi teroris yang dilakukan oleh Muslim kelahiran Jerman tersebut justru bisa memicu permusuhan dan retorika anti-Muslim.
Ketakutan akan Islam di Jerman juga diperkuat oleh melonjaknya jumlah pencari suaka sejak 2015. Yang mana, banyak dari mereka merupakan Muslim yang berasal dari Timur Tengah.
Krisis pengungsi telah memiliki dampak politik dan meningkatkan dukungan bagi partai yang anti-imigran dan anti-Islam seperti AfD. Kedatangan begitu banyak pengungsi, termasuk ratusan ribu anak usia sekolah dengan sedikit pengerahuan tentang Jerman atau tidak sama sekali, telah menciptakan tantangan integrasi yang luar biasa.
Dalam hal ini, Alba mengatakan bahwa Jerman membutuhkan kebijakan yang bisa memberi ruang bagi Muslim di kalangan masyarakat umum Jerman. Misalnya, mengakui Islam dalam struktur kelembagaan negara di Jerman. Dengan demikian, akan menempatkan Islam pada pijakan yang sama dengan agama-agama besar lainnya di Jerman.
Di samping itu, perubahan sistem pendidikan bisa mengurangi pemusatan umat Muslim kelahiran Jerman di jalur sekolah menengah atas terendah. Hal itu dinilai Alba bisa melahirkan manfaat yang sangat besar. Karena, menurutnya, kaum muda Muslim Jerman bisa membantu memperbaiki kekurangan demografis pada usia kerja dewasa di masa yang akan datang.
Advertisement