REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gelombang imigrasi setelah Perang Dunia II secara dramatis telah mengubah Jerman dan Amerika serikat. Salah satu dampaknya, ialah keanekaragaman dari pemandangan yang religius yang telah menyebabkan meningkatnya kekhawatiran dan permusuhan terhadap Islam, atau yang kerap disebut 'fobia' Islam. Islam menjadi agama para imigran yang paling menonjol sekaligus kontroversial.
Di Jerman, Islam adalah hambatan terbesar bagi para imigran dan anak-anak mereka daripada di Amerika Serikat (AS). Imigran Muslim di AS, seperti halnya di Jerman, menghadapi banyak prasangka dan diskriminasi. Pernyataan 'Anti-Muslim' bertebaran di level tertinggi masyarakat Amerika. Tak hanya itu, Presiden AS Donald Trump tak lama setelah menjabat mengeluarkan peraturan yang melarang pengunjung dari sejumlah negara Muslim.
Namun, di AS permusuhan terhadap Islam sebagian besar terfokus pada masalah keamanan. Mereka menganggap Islam sebagai sebuah ancaman dari luar negeri. Sedangkan di Jerman, permusuhan didasarkan pada tingkat yang lebih besar, yakni pandangan tentang ancaman 'peradaban'. Seperti halnya ketegangan antara norma-norma Eropa dan Muslim tentang hubungan gender.
Inilah mengapa the Alternative fur Germany (AfD), partai terbesar ketiga di parlemen setelah pemilihan baru-baru ini di Jerman, mengkampanyekan slogan bahwa Islam bukan termasuk peradaban milik Jerman. Pernyataan itu didukung melalui pesan secara visual dengan poster yang menggambarkan wanita Jerman berpakaian minim. Poster tersebut bertuliskan: "Burqa? Kami lebih suka bikini."
Mengapa hambatan bagi integrasi para imigran Muslim dan anak-anak mereka di Jerman lebih besar ketimbang di Amerika? Richard Alba, profesor sosiologi terkemuka pada CUNY Graduate Center di New York, AS, dalam artikelnya di situs Handelsblatt Global, mengemukakan salah satu alasannya, yakni demografi.
Sebagian besar populasi imigran di Jerman adalah Muslim. Angka imigran Muslim telah meningkat tajam di sana. Karena sekitar seperempat umat Muslim tiba di Jerman sejak 2014. Sementara di Amerika, hanya 4-8 persen imigran yang beragama Islam.
Selain itu, imigran Muslim di Jerman memiliki profil sosial ekonomi yang lebih rendah. Sebagian besar Muslim di Jerman berasal dari Turki. Mereka kerap memiliki pendidikan dan kemampuan yang terbatas di Jerman. Di samping itu, para imigran Muslim ini memiliki posisi yang rendah di bursa kerja dan tingkat kewarganegaraan yang rendah. Sebaliknya, sebagian besar Muslim Amerika berpendidikan tinggi dan merupakan pemilih dari kelas menengah.
Advertisement