REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di antara tahun 1105 dan 1118 Masehi, Hujjatul Islam Imam al- Ghazali berdebat dengan sejumlah orang di hadapan Sultan Bani Saljuk, Muhammad bin Maliksah, tentang beberapa hal keagamaan; di antaranya persoalan teologi dan proses penciptaan alam.
Men dengar betapa kuatnya argumen tasi al-Ghazali, sultan meminta sang imam untuk menuliskan ar gumentasi tersebut. Sang alim kemudian menuliskan berbagai dalil yang dikemukakannya. Tulis an itu kemudian diberikan kepada sultan.
Sebagai gantinya, al-Ghazali men dapat hadiah, seekor rusa hasil buruan tangan sultan sendiri. Ke mudian, al-Ghazali membalas pem berian itu dengan sebuah buku At-Tibrul Masbuk fi Nashihatil Muluk. Melalui buku itu al-Ghazali memberikan nasihat; seorang pemimpin haruslah bermoral tinggi, berakhlak mulia, dan tidak berbuat zalim kepada rakyatnya.
Nilai dan ajaran mendasar tentang kepemimpinan banyak diambil dari akhlak mulia yang banyak dikaji dari Alquran, sunah Ra sulullah, dan juga kajian falsafah tentang akhlak dari berbagai sumber. Dari sunah Rasulullah, misalkan, ada sifat-sifat mulia; seperti kejujuran, menyampaikan apa adanya, amanah, dan cerdas. Pemimpin tentu harus memiliki sifat-sifat tersebut.
Pemimpin bisa menjadi beradab karena ilmu. Makin tinggi ilmu pemimpin maka makin beradab lah dia. Ilmu adalah cahaya Ilahi yang disebarkan melalui ulama. Ilmu diserap oleh hati dan mem bentuk perangai serta pemikiran.
Nasihat pertama al-Ghazali terkait kepemimpinan adalah harus selalu berpedoman kepada Allah, baru setelah itu bermuamalah kepada manusia. Terkait dengan yang pertama, al-Ghazali berpendapat, pemimpin harus melindungi agama dari aliran sesat dan upaya penyimpangan agama.