REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pertengahan Oktober lalu, lantai empat salah satu hotel berbintang lima di bilangan Thamrin, Jakarta, tampak meriah. Puluhan orang tampak lalu-lalang. Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin baru saja membuka acara Halaqah Ulama ASEAN 2017. Sebuah event yang menampung para ula ma dan cendekiawan dari Asia Teng gara. Selepas Maghrib, para peserta rehat sejenak sambil me nunggu makan malam.
Hanya saja, di ruang toilet pria, beberapa orang peserta tam pak kesal. Mereka sulit untuk me lakukan istinja usai buang air kecil di urinoir. Maklum saja, ti dak ada air yang dikhususkan untuk istinja. Urinoir canggih itu me mi liki sensor yang akan membaca gerak penggunanya. Jika pengguna pindah dari urinoir, air baru akan keluar untuk membuang urine.
Air dari dalam urinoir ter sebut yang digunakan mereka untuk beristinja. Tidak hanya itu, urinoir pun tidak dilengkapi de ngan sekat. Dengan begitu, urine berpeluang untuk terciprat ke pa kaian pengguna. Otomatis, pakai an akan terkena najis sehingga ti dak bisa digunakan untuk shalat.
Salah satu pengguna urinoir di hotel mewah itu adalah Mu ham mad Murtadho. Peneliti Ba lit bang Kementerian Agama itu tampak bolak-balik dari urinoir satu ke urinoir lain. Dia hendak men cari cara agar sensor di uri noir tetap menyala sehingga bisa beristinja.
Kekecewaan makin lengkap saat tidak ada keran atau saluran air di toilet untuk buang air besar (BAB) untuk istinja. Pengelola ho tel hanya menyediakan tisu untuk membersihkan kotoran. "Ini menyusahkan kita istinja, bi sa kena najis nanti," ujar Mur ta dho saat berbincang dengan Re publika.
Kondisi serupa tampak di hotel mewah lainnya di Ibu Kota. Badri, warga Matraman Dalam, Ja karta, yang juga pengguna toilet di hotel itu merasa kecewa terhadap fasilitas toilet yang tersedia. Badri yang berprofesi sebagai jurnalis di salah satu media nasional mengaku beberapa hotel memang kurang ramah terhadap Muslim. Ia mencontoh kan tempat toilet buang air besar yang hanya menyediakan tisu sebagai alat pembersih.
Bagi Badri hal tersebut sangat tidak ramah bagi Muslim. "Kan ada istilah najis, jadi kalau cuma tisu susah menjaga kesucian. Kan harus pakai bahan keras," kata Badri kepada Republika, belum lama ini, di salah satu hotel di Ja karta. Dia juga mengkritisi ten tang urinoir di beberapa hotel, ter utama yang menggunakan sen sor. Pasalnya, sebagian ada yang airnya telat mengalir sehingga pengguna tidak dapat menggunakan air.
Ketua Persatuan Hotel dan Res toran Indonesia (PHRI) DKI Jakarta, Krishandi, mengakui, ada beberapa hotel yang tidak menyediakan air untuk istinja. Hotel-hotel tersebut hanya me nye diakan tisu bagi para penggunanya untuk membersihkan diri setelah buang air. Meski demi ki an, dia mengungkapkan, semua fasilitas hotel, termasuk toilet, merupakan wewenang sepenuhnya dari pihak hotel.
Menurut Krishandi, tidak ada aturan yang mengikat tentang fasilitas toilet hotel. Ia menegas kan, hal tersebut sepenuhnya di se rahkan berdasarkan kemampuan pihak hotel. Termasuk kon disi keuangan. Begitupun dengan kebersihan masing-masing hotel. Ia menjelaskan, standar toilet yang digunakan berbeda-beda. Kendati demikian, dia menje las kan, sebagian besar hotel mu lai menggunakan air untuk alat pem bersih setelah buang air besar dan kecil. "Sekarang sudah pakai air, baik selang atau dari tengah, macam-macam," ujar Krishandi kepada Republika, Rabu (1/11).