REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kokohnya peradaban Islam dilandasi kokohnya ukhuwah kaum Muslimin. Hal pertama yang dikerjakan Rasulullah SAW setibanya di Yatsrib adalah mempersaudarakan kaum Muhajirin dan Anshar. Sebagai saudara mereka saling menanggung. Sebagai satu tubuh mereka saling merasakan.
Kaum Muhajirin hanya membawa iman saat datang ke Madinah. Mereka meninggalkan hampir semua perbekalan dunia di Makkah. Beberapa di antara mereka bangkit dan menjadi mandiri di Madinah. Sebagian yang lain memilih memperdalam keimanan sembari hidup sederhana. Mereka yang hidup sederhana ini dikenal dengan Ahlu Suffah.
Allah kemudian menciptakan sebuah amal untuk memperkuat hubungan kaum Anshar dengan para Ahlu Suffah. Allah SWT berfirman, "(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di muka bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui." (QS al-Baqarah [2]: 273).
Imam al-Qurthubi menerangkan ayat di atas berkaitan dengan Ahlu Suffah yang hidup di pelataran Masjid Nabawi. Mereka adalah kaum Muhajirin yang meninggalkan harta benda mereka di Makkah demi hijrah. Al Baghawi menyebut, para Ahlu Suffah tinggal di masjid sembari belajar Alquran. Ketika siang hari mereka mencari makan dengan memecah biji kurma. Mereka selalu ikut serta ketika Rasulullah SAW mengirimkan pasukan perang.
Inilah kemuliaan keduanya. Para Ahlu Suffah adalah orang yang tidak memiliki apa-apa. Mereka bahkan digambarkan oleh Allah sebagai orang-orang fakir. Namun, mereka memegang teguh kemuliaan mereka. Meski tak mampu, mereka hanya memiliki satu niat yakni berjuang di jalan Allah. Maka, mereka paham jika mereka harus menahan diri dari meminta-minta. Padahal mereka serba kekurangan.
Dalam riwayat lain, mereka hanya bergantung pada belas kasihan orang-orang Madinah yang menggantungkan tangkai kurma di masjid. Para Ahlu Suffah tetap enggan meminta-minta, kecuali dalam keadaan mendesak.
Sementara kaum Anshar sebagai tuan rumah diberi kesempatan amal yang mulia, berinfak. Infak yang diberikan kepada saudara-saudara mereka yang sudah menahan tangan mereka untuk meminta-minta. Lewat infak, berjuta kebaikan hadir. Sang pemberi mendapat ganjaran yang berlipat.
Lewat kesadaran infak, sang penerima terjaga kemuliaannya dengan menghindari meminta-minta. Infak juga menjadi wasilah eratnya persaudaraan sesama kaum Muslimin. Hari ini kita menyebutnya jaring pengaman sosial, ibadah sosial, kesalehan sosial, dan beragam definisi lainnya.
Disarikan dari Dialog Jumat Republika