REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Zakat di Indonesia bisa menjadi salah satu potensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pembuatan program yang selaras dengan pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs). SGDs adaalah 17 tujuan pembangunan global yang sudah disepakati oleh negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Hal ini ditegaskan oleh Ketua Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) Bambang Sudibyo dalam Acara Seminar 'SDGs Sebagai Sarana Peningkatan Kapasitas dan Pengembangan Kemitraan' di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bengkulu, Rabu (01/11).
Menurut Bambang, penghimpunan dari seluruh pengelola zakat di Indonesia tahun ini mengumpulkan dana lebih dari Rp 5 triliun. Namun sebenarnya potensi zakat nasional jauh lebih dari itu yakni mencapai Rp 217 triliun per tahun, dengan rata-rata pertumbuhan sekitar 37 persen. Tahun depan, kata Bambang, Baznas berkomitmen mengumpulkan zakat sebesar Rp 8,77 triliun.
“Dari jumlah tersebut, ditargetkan dapat mengentaskan mustahik fakir miskin sebanyak 1 persen dari jumlah masyarakat miskin di Indonesia,” ujarnya.
SDGs bisa menjadi sarana memperluas kemitraan serta jaringan para pelaku filantropi, organisasi nirlaba, perusahaan, pemerintah daerah maupun komunitas di Indonesia untuk mengembangkan kerja-kerja pemberdayaan masyarakat. Dengan menggunakan alat ukur pencapaian SDGs, organisasi-organisasi tersebut dapat meningkatkan kapasitas lembaga mereka terutama dalam hal pencapaian program.
Rangkaian roadshow Philantropy Learning Forum (PLF) on SDGs ini sendiri bertujuan mengidentifikasi persoalan lembaga filantropi lokal serta pemerintah daerah dalam memahami dan mengimplementasikan SDGs. Selain itu, diharapkan melalui kegiatan ini akan dapat dirumuskan platform perluasan jaringan bagi lembaga filantropi lokal serta memperkuat peluang kemitraan antar berbagai pihak yang terlibat dalam sektor filantropi.
Direktur Eksekutif Filantropi Indonesia Hamid Abidin mengatakan untuk mendanai pencapaian SDGs yang dicanangkan akan terpenuhi di tahun 2030, dibutuhkan dana sekitar 3,5-5 dolar AS triliun per tahun di negara berkembang. Karena itu, kata dia, tidak mungkin pemerintah, lembaga donor, serta filantropi dan bisnis bekerja sendiri-sendiri. Perlu ada kemitraan lintas sektor yang kuat terutama dalam mengatasi permasalahan di tingkat pemerintahan daerah dan komunitas.
“Agar kemitraan antarsektor dan pemangku kepentingan dapat berjalan baik, harus ada pendekatan inklusif, komunikasi yang terbuka, serta komitmen dari semua pihak”, ujar Hamid.
Melalui SDGs, Pemda dapat mendorong kemitraan untuk mengatasi masalah setempat seperti isu lingkungan dan budaya. Dengan adanya kepercayaan dari pihak pemerintah, swasta maupun masyarakat sipil, maka bentuk governance (tata kelola) bagi kemitraan yang ideal dapat tercipta.
Tim Kerja SDGs Bappeda Provinsi Bengkulu M. Rizqi Al Fadli mengatakan SDGs telah menjadi pedoman awal dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM). Dalam lima prioritas pembangunan daerah, telah menggunakan perspekstif SDGs seperti pengurangan kemiskinan, ketertinggalan, pembangunan infrastruktur dan lainnya.
Upaya pengentasan kemiskinan menjadi pekerjaan rumah yang tidak ringan bagi provinsi yang menempati urutan nomer enam termiskin di Indonesia ini. Pemerintah melibatkan berbagai pihak untuk bekerjasama seperti komunitas filantropi, CSO, akademisi, pembuatan Forum CSR, BUMN dan BAZNAS.
“Sebab pembangunan daerah ini merupakan tanggung jawab bersama, sehingga kami duduk bersama-sama menyusun dokumen perencanaan dan melaksanakannya berdasar framework SDGs,” katanya.