Senin 30 Oct 2017 15:40 WIB

Ketegangan dan Konflik karena Politik, Bukan Faktor Agama

Rep: Fuji Eka Permana/ Red: Agus Yulianto
Din Syamsudin
Foto: ROL/Fian Firatmaja
Din Syamsudin

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketegangan dan konflik banyak terjadi di sejumlah daerah di Tanah Air, lebih disebabkan oleh faktor politik, dan bukan faktor agama. "Kalau faktor agama itu sendiri, faktor teologis, walau pun ada perbedaan tapi tidak membawa kepada konflik," kata Prof Din Syamsudin kepada Republika.co.id, saat konferensi pers usai melakukan pertemuan tertutup dengan jajaran PGI di Kantor PGI, Senin (30/10).

Utusan khusus presiden untuk dialog dan kerja sama antar agama dan peradaban ini mengunjungi Kantor Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) untuk bersilaturrahim pada Senin (30/10). Pada silaturrahim tersebut, Prof Din bersama tokoh-tokoh PGI tidak secara khusus membicarakan tentang bagaimana tokoh agama-agama menghadapi agenda politik seperti Pilkada dan Pilpres.

Din mengatakan, saat bertemu tokoh-tokoh agama disinggung tentang ketegangan dan konflik antara umat beragama yang terjadi di tanah air. Ia menerangkan, ada faktor-faktor non agama seperti faktor politik, ekonomi, sosial dan kesenjangan sering menjadi pemicu terjadinya ketegangan serta konflik. Sementara, agama hanya dijadikan alat pembenar saja.

Din yang juga sebagai Ketua Dewan Pertimbangan (Wantim) Majelis Ulama Indonesia (MUI) berpandangan, dalam hal ini tokoh-tokoh agama dapat menampilkan peran dan pesan moral. Agar perbedaan kepentingan politik tidak membawa ke perpecahan. Apalagi membawa kepada bentrok fisik yang akan merugikan diri sendiri.

Dikatakan Din, memang ada perbedaan dalam memandang hubungan antara agama dengan politik. Ada yang berpandangan tidak boleh ada hubungan antara agama dengan politik. Ada juga yang berpandangan harus ada hubungan antara agama dan politik.

"Dalam pandangan Islam, hubungan agama dan politik tidak berbentuk berbentuk formalistik. Tapi hubungannya hanya dalam bentuk moral, agama-agama memberikan kontribusi moral dan etika dalam berpolitik," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement