Senin 23 Oct 2017 09:51 WIB

Lesbumi NU: Tirakat Para Pejabat Ada Pada Sumpah Jabatan

Rep: Fuji E Permana/ Red: Esthi Maharani
Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (LESBUMI)  (Republika/Rakhmawaty La'lang)
Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (LESBUMI) (Republika/Rakhmawaty La'lang)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia Nahdlatul Ulama (Lesbumi NU) menggelar acara Silaturrahim Kebudayaan II bertema Nusantara Bertirakat sebagai rangkaian acara menyambut peringatan Hari Santri 2017. Lesbumi NU berpandangan bangsa Indonesia perlu bertirakat, artinya perlu olah rasa dan mengendalikan hawa nafsu.

Wakil Sekretaris Jenderal PBNU, Suwadi D Pranoto mengatakan, bentuk tirakat para pejabat dan wakil rakyat adalah konsisten pada sumpahnya. "Tirakat dalam pengertian yang lebih luas bisa diartikan konsistensi pada jalan. Konsisten pada jalan hukum, konsisten pada jalan aturan," kata Suwadi kepada Republika usai mengisi acara Silaturrahim Kebudayaan II di Griya Oetami Omah Budoyo Jakarta, Sabtu (21/10).

Ia menerangkan, pelanggaran atas hukum bagian dari ketidakkonsistenan pada tirakat. Kalau hukum dimaknai jalan, maka meningkatnya orang-orang yang melanggar hukum sama dengan menurunnya orang-orang yang bertirakat.

"Mentirakati Indonesia atau mengajak orang bertirakat, mengajak orang lebih konsisten pada hukum-hukum dasar, baik dalam bermasyarakat maupun negara, hukum dasar yakni keadilan dan kesejahteraan," ujarnya.

Ia mengungkapkan, bertirakat adalah bentuk pengakuan bahwa masih banyak hal-hal yang perlu diperbaiki. Menurutnya, kondisi saat ini banyak yang saling menyalahkan, gampang tersinggung dan sedang tidak kompak. Sepertinya perasaan untuk solider sebagai sebuah bangsa saat ini menurun.

"Jangan-jangan Indonesia ribut-ribut karena lebih banyak yang tidak konsisten daripada yang konsisten," ujarnya.

Menurut Sekretaris Jenderal Lesbumi NU, Abdullah Wong, di dalam teks-teks kitab suci, para wali dan orang suci adalah orang-orang yang melewati proses panjang yakni proses tirakat, kemudian mereka mencapai pencerahan.

"Mencapai mukasyafah, mencapai suatu penerangan dalam dirinya, jiwanya, yang kemudian dia sendiri adalah penerang yang kemudian menerangi masyarakat di sekitarnya," ujarnya.

Ia menerangkan, para nabi, utusan dan orang-orang suci hampir semuanya bertirakat. Kalau dalam sejarah Islam, Rasulullah menyepi di Gua Hiro. Bahkan di usia 25 tahun, nabi sudah mulai menyepi. Begitu pula dengan Siddhartha Gautama, dia melakukan meditasi di bawah pohon Bodhi. Serta Bunda Maria puasa makan, kemudian mendapatkan Al Maidah dari langit sebelum melahirkan.

"Semua kisah ini menjadi potret-potret penting bahwa, tirakat menjadi bagian tidak terpisahkan dari proses manusia mengalami pencerahan," terangnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement