REPUBLIKA.CO.ID, MATARAM— Konferensi Internasional Ikatan Alumni al-Azhar Mesir Cabang Indonesia (IAAI) menyoroti antara lain merebaknya beragam fatwa ekstrem di kalangan umat Islam belakangan ini.
Penasehat Ketua Dewan Suni Irak Omar Hamed Murad mengingatkan para alumni al-Azhar, segenap ulama, dan para cerdik pandai agar berhati-hati mengeluarkan fatwa. Dia tidak ingin negara Islam manapun tak terkecuali Indonesia menjadi berantakan seperti pengaman Irak akibat beredarnya fatwa ekstrem.
“Kami merasakan dampak satu kalimat (fatwa) bisa rusak suatu negara,” kata dia saat menyampaikan materi pada Konferensi Internasional IAAI di Islamic Centre Mataram, Nusa Tenggara Barat, Rabu (18/10) malam.
Dia mengungkapkan apa yang terjadi di Irak saat ini sejatinya antara lain dipicu oleh fatwa yang tidak didasari ilmu dan hanya berangkat dari hawa nafsu. Dia menyebut misalnya fatwa-fatwa yang banyak keluar dari Kelompok ISIS dan kalangan radikal.
Selain kehancuran negara, ungkap dia, kesalahan berfatwa bisa memaksa tak sedikit ulama Irak yang lurus berhijrah keluar dari negara berjuluk ‘negeri seribu satu malam’ tersebut.
Dia meyakinkan sekali saja fatwa ngawur beredar dan merusak stabilitas negara, tutur dia, niscaya sulit mengembalikan kondisi menjadi normal kembali. “Di Irak saat ini tak ada satupun yang mampu melawan pemahan radikal saat ini” kata dia.
Omar pun menggarisbawahi secara faktual di lapangan yang merusak tatanan di negaranya adalah para teroris yang melandasi pemikiran dan aksi mereka dengan fatwa-fatwa ekstrem.
Sementara itu mantan rektor Universitas al-Azhar Mesir, Ibrahim Hudhud meminta para alumni al-Azhar dan ulama memaksimaklan dakwah di dunia maya untuk mengenalkan prinsip-prinsip Islam yang damai. Apa yang terjadi saat ini adalah revolusi informasi yang berjalan masif. “Internet berpengaruh pada berubahnya tatanan masyarakat Islam kini,” tutur dia.
Ibrahim menjelaskan dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, Islam telah disalahpahami sebagai agama yang antipluralitas dan integrasi sosial. Padahal sejak awal risalah ini telah menggariskan kedamaian sosial.
Dia menyebutkan pengalaman negara Madinah yang dipimpin Rasulullah SAW adalah bukti kuat. Sejarah mencatat pada masa awal hanya ada 10 ribu penduduk Madinah. Jumlah umat Islam ketika itu hanya 1.500 sisanya adalah non-Muslim. Mereka hidup berdampingan dan saling mengharga satu sama lain.
Melalui Deklarasi Madinah, kata dia, tercipta harmoni, kesetaraan, dan keadilan sosial. Jika secara menulis pengusiran Yahudi, hal tersebut terjadi bukan karena faktor keyakinan yang mereka anut, tetapi akibat ketidakpatuhan mereka terhadap kesepakatan Madinah.
“Perbedaan adalah asas dari kemanusian karena manusia tidak diciptakan sama. Di atas prinsip inilah kehidupan itu tegak. Tidak ada paksaan dalam beragama. Berikan non-Muslim hak mereka,” kata dia.
Konferensi yang dihadiri 40 delegasi mancanegara dan perwakilan alumni al-Azhar dari berbagai daerah di Indonesia tersebut mengangkat tema “Moderasi Islam: Dimensi dan Orientasi”.
Hari ini, Kamis (19/10) Presiden Joko Widodo dan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin dijadwalkan hadir memberikan pengarahan. Pada Selasa (18/10) malam, dalam pertemuan internal para alumni al-Azhar, Gubernur NTB Tgb M Zainul Majdi ditunjuk sebagai Ketua Umum IAAI Cabang Indonesia menggantikan Quraish Shihab yang akhirnya didaulat sebagai Ketua Kehormatan (rais syaraf).