REPUBLIKA.CO.ID, Malam pembacaan Puisi Hari Santri 2017 menjadi salah satu rangkaian agenda peringatan hari santri. Bertajuk “Ketika Kiai-Nyai-Santri Berpuisi : Pesantren Tanpa Tanda Titik,” puluhan penyair, para Kiai dan Nyai unjuk kebolehan membaca puisi di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki.
Nama-nama seperti Sujiwo Tejo, Abidah El Khaliqie, Habiburrahman El Shirazy, Husein Muhammad, Jamal D Rahman, hingga Sutardji Calzoum Bachri dan bahkan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin secara bergantian berbagi pesan melalui sajak-sajak sarat makna. Ada juga Fatin Hamama, Romahurmuzy, Badriyah Fayumi, D Zawawi Imron, Ahmadun Yosi Herfanda, Helvy Tiana Rosa, Inayah Wahid, Candra Malik, Joko Pinurbo, Prie GS, dan Vina Candrawati. Senin (16/10) malam, Taman Ismail Marzuki bergema oleh pesan-pesan kesantrian.
Hadir memberikan sambutan, Menag Lukman Hakim Saifuddin menyampaikan bahwa puisi ibarat sahabat, sekaligus obat bagi santri. Dalam segala keterbatasan di lingkungan Ponpes, banyak aturan, minimya sarana hiburan, padatnya jadwal kegiatan, katanya, puisi mendapat tempat tersendiri bagi santri sebagai pelipur lara, sekaligus penyemangat asa.
Bahkan, puisi bisa juga sebagai pertanda, dan capaian santri dalam belajar. “Kalangan santri bisa kembali mengingat ketika berada di pondok pesantren. Ketika ada temannya mampu membuat syair, itu dipastikan yang bersangkutan telah bersentuhan dengan Alfiah Ibnu Malik. Atau, dia pernah bersentuhan dengan Ihya Ulumuddin karangan Imam Al Ghazali,” kata Menag diikuti tepuk tangan peserta yang memadati ruang Graha Bhati Taman Ismail Marzuki.
Menurut Menag, santri yang melek sastra atau mahir bersyair karena 3 hal: pertama, sedang jatuh hati atau kasmaran; kedua, sedang cemburu, dan ketiga, sedang patah hati. “Ini semua terkait persolan dengan hati, saat itu kita begitu mahir menjadi penyair,” ujar Menag.
Malam pembacaan Puisi Hari Santri digelar oleh Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama. Puncak peringatan Hari Santri akan digelar di Semarang pada 22 Oktober 2017 mendatang dengan tema “Wajah Pesantren, Wajah Indonesia”.
Berikut puisi yang dibacakan Menag Lukman Hakim Saifuddin :
JIKA DAN MENGAPA
Jika berkata mengapa berdusta,
Jika bertutur mengapa tak jujur,
Jika di percaya mengapa memperdaya,
Jika berjanji mengapa tak ditepati.
Jika memberi mengapa berharap materi kembali,
Jika beramal materi mengapa berharap puji,
Jika menerima puji mengapa jadi lupa diri,
Jika suka lupa diri mengapa tak fokus saja urus diri sendiri,
Jika tak diberi amanah mengapa menjadi marah,
Jika dikritik mengapa menghardik,
Jika tak punya kuasa mengapa malah jumawa,
Jika mendapat mandat mengapa merasa paling berdaulat,
Jika nyatanya kosong, mengapa kata-katanya sombong,
Jika tak bersisi mengapa banyak aksi,
Jika merasa tak bermutu mengapa tak hendak berguru,
Jika tak berilmu mengapa sok tau,
Ohoy, jika mau mengukir sejarah, mengapa hanya mahir berkeluh kesah,
Ohoy, Jika mau ubah kondisi negeri, mengapa cuma aksi berpuisi.
BANYAK DAN SEDIKIT
Begitu banyak orang hanya sedikit yang bernama manusia
Begitu banyak manusia hanya sedikit yang baik tutur katanya
Begitu banyak yang baik tutur katanya hanya sedikit yang sesuai dengan perilakunya
Begitu banyak yang tutur katanya sesuai dengan perilakuknya, hanya sedikit yang meneladaninya
Dan begitu banyak meneladaninya hanya sedikit yang ikhlas melakukannya
Wahai Zat yang tak berbilang, Begitu banyak tapi hanya sedikit
AGAMA, KONSTITUSI dan KITA
Bagaimana posisi agama dalam konsttitusi kita,
Mari kita simak bersama
Kemerdekaan kita diraih berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa,
Penyelenggara negara kita bersumpah sesuai agamanya saat memulia kerja
Sistim perdadilan kita, melingkupi 4 yang salah satunya peradilan agama,
Pengaturan pelaksanaan hak azasi manusia bisa dibatasi undang-undang atas pertimbangan agama
Tujuan pendidikan nasional kita meningkatkan iman takwa dan ahlak mulai dalam mencerdaskan kehidupan bangsa,
Ilmu pengetahuan kita dimajukan dengan menjunjung tinggi nilai agama
Dan Negara kita, negara kita berdasar ketuhanan yang maha esa
Tapi mengapa?
Mengapa prahara masih saja bersama kita,
Mungkin karena agama masih di kata-kata,
Mungkin karena agama belum menjelma nyata menjadi tindak kita