REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Abu al-Hasan Ali bin Utsman al-Jullabi al-Hujwiri al-Ghaznawi mengungkap, prinsip tobat, ialah usaha untuk memahami diri terhadap ketiadaan kebaikan. Hati kemudian diisi dengan amal baik serta dijauhkan dari dosa.
Perbuatan yang mendatangkan pahala, kecintaan, dan keridhaan Allah menjadi prioritas. Allah berfirman, "Bertobatlah wahai orang-orang yang beriman agar kamu beruntung." (QS an-Nur [24] : 31). Jika bertobat maka Allah akan memberikan cintanya (QS al-Baqarah 2: 222). Tidak hanya itu, rahmat Allah juga akan datang. Lihat surah al-An'am ayat 54.
Tobat hakiki merupakan ketaatan dan integrasi. Diri akan meninggalkan dan melepaskan ikatan-ikatan yang dapat merusak hati. Tobat yang benar tidak membiarkan sisa pengaruh maksiat bersarang dalam dirinya baik secara lahir maupun batin.
Al-Hujwiri mengutip perkataan pentolan sufi di abad kedua Hijriyah, Yahya bin Mu`az, "Satu penyelewengan saja sesudah bertobat, sama saja dengan tujuh puluh penyelewengan sebelum tobat. Tobat sejati menjadi perisai agar teguh."
Ada beberapa syarat sah tobat. Menurut tokoh yang wafat di Lahore, Pakistan, tersebut, tobat tidak sah kecuali dengan menyadari dan mengakui dosa. Sebab itu, jangan sertai tobat dengan kesalahan serupa. Apalagi, menempatkan kekeliruan itu sebagai inspirasi orang lain.
Tobat harus menjadi titik balik seseorang yang melahirkan kesadaran terhadap segala kekurangan atau kesalahannya. Lalu, menetapkan tekad dan azam yang disertai dengan amal perbuatan untuk memperbaiki.