Selasa 26 Sep 2017 13:41 WIB

Ada Ridha Allah dalam Diri Ibu

Ibu dan Anak/Ilustrasi
Foto: Antara
Ibu dan Anak/Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Lihatlah sosok Uwais al-Qarny. Bagi rombongan kafilah Yaman, dia bukanlah siapa-siapa. Hanya rombongan jamaah haji biasa. Dia bukanlah ulama, penguasa, atau saudagar kaya. Pakaiannya pun tampak lusuh.

Bahkan, suatu kali Umar kembali bertemu dengan rombongan dari Yaman. Ia bertanya kepada rombongan tersebut kabar Uwais. Salah seorang rombongan itu menjawab, "Kami tinggalkan ia dalam keadaan miskin."

Biasa di mata manusia, namun tidak di mata Allah. Bahkan, Rasulullah SAW meminta sahabatnya yang mulia untuk meminta doa Uwais jika kelak bertemu dengannya. Menurut ulama, salah satu amalan yang bisa membuat kedudukan Uwais begitu mulia di sisi Allah adalah baktinya kepada ibunya.

Ibunya adalah sosok yang renta. Tanpa melupakan ibadah kepada Allah, Uwais begitu sayang dan melayani ibunya. Berbakti kepada sang bunda ternyata bukan hanya amalan setitik nan ringan pahalanya. Ia bisa menjadi musabab seseorang diangkat derajatnya begitu tinggi hingga mengalahkan kemuliaan para sahabat.

Berbakti kepada bunda nyatanya seperti berhenti pada kata-kata. Hari ini kita dapati anak-anak muda yang menganggap sang bunda sebagai wanita tua yang kerap mengatur kehidupan mereka. Sesekali bahkan umpatan dengan mudahnya meluncur dari anak-anak muda itu kepada ibunya. Na'udzubillah.

Ibu, dengan segala kosakata penggantinya, teramat mulia hanya untuk ditolak perintahnya. Sekadar mengeluh "ah, uh, huh" dan sejenisnya adalah larangan keras ditujukan ke sosok lembut nan mulia itu.

Sebagai manusia, ibu kita tentu memiliki kekurangan. Itu sebuah kepastian. Namun, seberapa pun kekurangannya, tak bisa menghilangkan garis nasab jika ia adalah ibu kita. Selama iman masih menghinggapi kalbu sang bunda, tak ada satupun alasan untuk tak taat kepadanya. Dalam catatan bukanlah sebuah perintah untuk maksiat kepada Allah.

Sesekali, tanyalah kepada ibu kita. Apakah kita sebagai sang anak sudah cukup memberikan ketenangan batin kepadanya. Atau, jangan-jangan kitalah yang menjadi beban pikiran yang ibu terus bawa dalam sujud-sujud sunyi.

Di dalam lisan seorang ibu ada ridha Allah bersamanya. Di dalam lisan ibu pulalah, ada murka Allah bersamanya. Di dalam doanya ada sifat makbulnya doa. Di dalam diri kita ada tiga kali kewajiban lebih untuk memuliakan sang bunda.

Maka, sungguh tak pantas seseorang menyia-nyiakan ibunya. Tak ada kata terlambat. Jika sang bunda sudah wafat, Allah menyiapkan ruang-ruang bagi kita untuk berbakti. Caranya, sekuat tenaga yang kita miliki menjadi sosok saleh di mata Allah lantas menengadahkan tangan mendoakan kebaikan bagi orang tua.

Disarikan dari Dialog Jumat Republika

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement