REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bagaimana dengan kondisi seseorang yang mengalami masyaqqah (kesulitan) untuk menunaikan shalat berjamaah di awal waktu? Misalkan karena urusan pekerjaan yang benar-benar tak bisa ditinggalkan.
Walaupun pekerjaan tersebut adalah urusan duniawi, bisa menimbulkan mudharat jika meninggalkannya. Apakah dengan alasan ini boleh meninggalkan shalat berjamaah dan mengakhirkan shalat?
Para fuqaha mengqiyaskan masyaqqah (kesulitan) dalam hal ini dengan rukhsah (keringanan) bagi musafir. Seorang yang dalam perjalanan mungkin saja mendapati masyaqqah dalam perjalanannya. Misalkan, ia berada dalam bus, kereta, atau pesawat yang tengah berjalan. Bagaimanakah ia akan berhenti untuk menunaikan shalat berjamaah?
Masyaqqah ini juga bisa diqiyaskan dengan urusan-urusan yang tak bisa ditinggalkan. Misalkan, seorang pelajar yang tengah menghadapi ujian kelulusannya. Jika ia meminta izin atau keluar ruangan untuk melaksanakan shalat berjamaah, ia terancam tidak lulus. Demikian juga urusan-urusan pekerjaan yang bisa menimbulkan mudharat jika ditinggalkan.
Dalam kondisi seperti ini, para fuqaha berdalil dengan hadis Nabi SAW dari Abdullah bin Fadhaalah, dari ayahnya, ia mengisahkan, "Rasulullah SAW mengajarkan saya. Di antara yang pernah dia ajarkan adalah, jagalah shalat yang lima waktu. Aku bertanya, aku memiliki waktu-waktu yang begitu sibuk, perintahkanlah kepadaku dengan suatu perbuatan yang jika aku lakukan perbuatan itu, aku tetap mendapatkan pahala yang cukup. Beliau SAW bersabda, jagalah shalat al 'ashrain." (HR Abu Daud, Hakim, Baihaqi, dan Thabarani).
Al Hafizh Ibnu Hajar, Imam az-Zahabi, dan al-Bani menyahihkan hadis ini. Maksud dari al 'Ashrain adalah shalat sebelum terbit matahari (shalat Subuh) dan shalat sebelum tenggelam matahari (shalat Ashar). Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, dua shalat yang disebutkan (Subuh dan Ashar) tersebut tetap harus dijaga secara berjamaah. Adapun shalat yang lain diberikan rukhsah jika bertemu dengan masyaqqah.
Al-Bani menegaskan, rukhsah tersebut diberikan hanya jika ada masyaqqah. Namun, jika tak memiliki halangan apa-apa, orang tersebut kembali diwajibkan untuk shalat berjamaah ke masjid. Demikian diterangkan dalam Silsilah Ash-Shahihah Nomor 1813.
Bahkan, menurut Ibnu Abbas RA, jika memang ada masyaqqah yang cukup berat, jangankan menunda shalat atau absen dari shalat berjamaah, menjamak dan mengqashar shalat pun diperbolehkan. Jamak dan qashar shalat tidak hanya diperuntukkan bagi musafir saja, tetapi bagi mereka yang punya masyaqqah yang sama atau lebih berat dari musafir, mereka pun diperbolehkan menjamak dan mengqashar shalat.
Masyaqqah tersebut seperti menuntut ilmu, sakit, takut terhadap orang kafir, hujan, cuaca panas dan dingin yang ekstrem, bencana alam, atau pekerjaan yang tidak dimungkin ditinggalkan karena akan menimbulkan mudharat. Misalkan, dokter yang sedang membedah pasien, bidan yang tengah menangani persalinan, penjaga pintu kereta, dan penjaga keamanan negara. Namun, selama bisa dicarikan solusinya, mengapa tidak memilih untuk menunaikan shalat berjamaah? Wallahu'alam