REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ayatnya ringkas, tiga ayat saja. Namun, kandungannya teramat luas. Kita kerap mendengarnya dibaca saat shalat berjamaah secara jahr. Saat kecil pun, surah ini menjadi favorit. Pendek dan mudah dihafal.
Surah al-Ashr adalah surah Makiyah. Sebagaimana karakter surah Makiyah, isinya adalah peneguhan perjuangan. Bagaimana cara menjalani hidup dan kehidupan termaktub dalam surah yang turun saat dakwah di Makkah.
Ada sebuah kebiasaan yang kerap dilakukan para sahabat jika menyangkut surah al-Ashr. Imam Thabrani dalam Al-Mu'jim Al-Awsath dan Imam Baihaqi dalam Syu'ab Al-Imam meriwayatkan sebuah hadis dari Abu Hudzifah RA. Ia berkata, "Dua sahabat Rasulullah SAW jika sudah bertemu tidak akan berpisah hingga salah satu dari keduanya membacakan surah al-Ashr kemudian mengucapkan salam."
Lihatlah kebiasaan generasi yang disebut Rasulullah SAW sebagai generasi terbaik. Mereka melihat keutamaan yang sangat agung dalam surah yang ringkas ini. Meresapi maknanya adalah salah satu cara untuk melihat secara utuh kandungan besar surah ini.
Syekh Wahbah az-Zuhaili dalam tafsir Al-Wasith menjelaskan, Allah SWT mengawali ayat ini dengan sumpah demi waktu. Waktu atau masa adalah rentetan pelajaran yang harus direnungi manusia. Ada pergiliran siang dan malam, gelap dan terang silih berganti. Hal ini menandakan jika kondisi kehidupan akan terus dinamis.
Waktu sebagai objek sumpah juga sangat penting. Bahkan, kita dimakruhkan mencela waktu. Rasulullah SAW bersabda, "Jangan mencela waktu karena Allah-lah (pencipta) waktu."
Kemudian Allah menerangkan sejatinya tiap insan berada dalam kondisi serbarugi. Ia rugi baik dalam perdagangan, pekerjaan, maupun amal di dunia. Syekh Wahbah menjelaskan, kerugian ini jelas tampak pada orang-orang yang tidak beriman. Mereka menderita kerugian di dunia dan di akhirat. Dan itulah makna kerugian yang sebenarnya.
Sementara, orang mukmin meski kadang rugi di dunia, seperti rugi dalam perniagaan, kerasnya hidup, kemiskinan, dan lainnya, kerugian itu tidak ada maknanya sama sekali dibanding kenikmatan di akhirat.
Disarikan dari Dialog Jumat Republika