Senin 04 Sep 2017 13:13 WIB

Iedul Adha di Brisbane: Zikir Para Burung dan Gulai Spesial

Masyarakat Muslim di Brisbane, Australia, melaksanakan shalat Iedul Adha 1438 H (foto atas), menikmati suasana dan hidangan ala Indonesia seusai shalat Iedul Adha (foto-foto bawah).
Foto: Dok Panitia Iedul Adha Brisbane 1438 H
Masyarakat Muslim di Brisbane, Australia, melaksanakan shalat Iedul Adha 1438 H (foto atas), menikmati suasana dan hidangan ala Indonesia seusai shalat Iedul Adha (foto-foto bawah).

REPUBLIKA.CO.ID, BRISBANE -- Pagi yang tenang. Dingin yang menusuk mulai berkurang. Alunan takbir berkumandang, di tengah padang rumput dan ilalang. Bagi sebagian orang, sholat Ied  di lapangan sudah biasa. Tapi shalat Iedul Adha yang digelar di Oxley Creek Common, Rocklea, Sherwood, Brisbane, Australia, Sabtu  (2/9) pekan  lalu, memberikan nuansa berbeda.

Gemuruh takbir menyatu dengan sahut menyahut kicauan burung, yang seolah tak mau kalah mengagungkan Asma Tuhan. Betapa tidak, sekitar 185 species burung asli Australia, bisa ditemukan di sini. Tak salah bila tempat ini menjadi surganya para penikmat burung (bird watchers) dan salah satu spot terbaik di Brisbane untuk menikmati burung tempatan dari jenis kecil  si penghisap madu (honey eaters) hingga Raptor, si elang.

Rilis Panitia Iedul Adha Brisbane 1438 H Komunitas Muslim Indonesia Brisbane   yang diterima Republika.co.id, Senin (4/9) menyebutkan, selain menyatu dengan alam, perayaan Iedul Adha juga terbilang istimewa karena selepas khutbah disampaikan, para jamaah besar kecil, tua muda, Indonesia maupun Australia dimanjakan beragam makanan tradisional dan gulai ayam dan kambing yang mengundang selera. Semuanya gratis!

Semua berseri-seri.  Anak-anak bermain, berlarian. Yang muda dan yang tua berbincang. “This wonderful day is truly blessed with sun shining, smiling face, beautiful food, and happy atmosphere,” ujar Wafa Shafiq, Muslimah Libanon yang terlahir di Australia yang juga ikut berbaur dengan Muslim Indonesia. Dia berterima kasih kepada komunitas Muslim Indonesia yang telah menyelenggarakan kegiatan yang begitu meriah dan menyenangkan.

 

Menurut Wawan Sugiyarto, ketua Panitia penyelenggara shalat Iedul  Adha 1438 H, berlimpahnya makanan tidak lepas dari sumbangsih para ibu “Cansol”, sebutan mesra untuk para ibu yang “cantik dan solehah” di Brisbane.

 

Panitia awalnya hanya menyediakan menu utama gulai kambing spesial. Namun kemudian, ibu-ibu Cansol bergerak cepat. Menu dan kebutuhan Ied disusun dan kemudian “dilelang” di grup internal.

Hanya dalam semalam semua keperluan makanan, minuman, peralatan makan-minum, sudah kelar. “Seperti berebut, tahu-tahu semua daftar menu dalam list sudah ada yang nyumbang. Yang nggak kebagian akhirnya menyumbang uang,” ujar Ara, salah satu yang turut aktif dalam kegiatan ini. “Mewakili panitia saya, berterima kasih sekali atas bantuan yang luar biasa ini. Mudah-mudahan diganti Allah dengan yang lebih berlimpah,” ujar Wawan, yang juga mahasiswa PhD di QUT.

 

Salah satu yang menjadi magnet dan perekat silaturahim Iedul Adha, pagi itu apalagi kalau bukan gulai spesial yang tersaji. Panitia yang biasanya membeli daging dari halal butcher, kali ini bersusah payah menyembelih sendiri tiga ekor kambing gemuk  secara langsung di farm lokal. Di Australia, penyembelihan hewan kurban tidak bisa dilakukan kecuali mereka yang memiliki sertifikasi.

Aktivitas penyembelihan selepas selesai shalat Iedul Adha, hampir tidak ditemukan.  “Gulai kambingnya empuk dan rasanya nagih. Bau kambingnya pun hampir tidak tercium,” ujar Febi Dwirahmadi, yang sehari-hari bekerja sebagai dosen di Griffith University, semringah. “Mungkin next time, sate kambing ya, bukan gulai kambing, dah gitu aja,” Ketua Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA) Sarah Britton, menimpali.

Masyarakat Indonesia di Brisbane jumlahnya ratusan. Dalam arasy kegiatan keislaman, tercatat paling tidak ada tiga  organisasi besar: The Indonesian Islamic Society of Brisbane (IISB), Indonesia Muslim Center of Queensland (IMCQ) dan Pengajian Khataman. Yang pertama adalah semacam paguyuban yang diinisiasi oleh pasangan suami istri, Bapak dan Ibu Iman Partorejo yang sudah menjadi warganegara Australia.

Awal dibentuknya IISB dipicu dari kekhawatiran mereka akan kelangsungan pengamalan nilai-nilai Islam putra-putri mereka yang tumbuh dan besar di lingkungan komunitas non-Muslim pada 1975. “Hal utama yang menjadi concern kami saat itu adalah bagaimana anak-anak kami bisa belajar shalat dan mengetahui apa itu Islam dan apa tugas orang-orang Islam,” kata Pak Iman suatu kali.

Saat ini IISB telah berkembang dan menghimpun berbagai eksponen. “Kami berharap bisa lebih erat menjalin ukhuwah dengan semua pihak, termasuk mereka yang sudah menjadi residen maupun para mahasiswa,” ujar Yudi Suharto, presiden IISB, yang sudah hadir di lokasi sejak Shubuh.

Senada dengan ini, penggiat Positive Parenting Program (3P) di Brisbane, Eva Yulianti, juga menaruh harapan besar kebersamaan akan lebih terjalin. “Kita ada komunitas muslim Indonesia, semuanya happy, ada makan bersama, ini sangat luar biasa.Mudah-mudahan kedepannya akan lebih erat persatuannya dan lebih baik,” ujarnya.

Sementara IMCQ dibentuk sebagai wadah untuk memperjuangkan berdirinya Islamic Centre dan tempat ibadah yang representatif bagi umat Islam di Brisbane. Saat ini, IMCQ telah membebaskan lahan seluas 4.500 m2 di daerah Logenlea, Queensland.

“Saya ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu pembelian properti ini untuk Islamic Centre. Kita harapkan tahap keduanya, segera bisa mewujudkannya menjadi tempat ibadah,” papar Presiden IMCQ, Hamid Mawardi, yang diam-diam juga merangkap sebagai pemasak sekaligus pembuat resep gulai istimewa.

   

Dalam kesempatan ini, Iman Partoredjo selaku sesepuh mengingatkan agar semua potensi keumatan di Brisbane bersatu padu mendukung pengembangan properti yang sudah dibebaskan itu. “Semangat berkurban itu tidak sebatas menyembelih hewan, tapi juga mengorbankan waktu, kesempatan, uang dan apapun yang dimiliki. Saya berharap kerelaan saudara-saudara agar mendukung pengembangan Islamic Centre ini agar pada tahap kedua bisa diwujudkan tempat ibadah,” tuturnya.

Apa yang disampaikan  Iman sejalan dengan pesan khatib, M. Luthfi Hamidi, mahasiswa Griffith University, yang menekankan kemakmuran tidak akan cepat terwujud kalau hanya berfokus pada “peningkatan pendapatan”, tapi harus dibarengi dengan “peningkatan pengorbanan”.

Terik mulai menyengat. Burung-burung masih sibuk berkicau. Para ibu cansol mulai membenahi dan merapikan bekas-bekas hidangan. Satu persatu jamaah pulang dengan perut kenyang.

Allahu akbar. Walillahilhamdu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement