Ahad 03 Sep 2017 20:16 WIB

Filologi, Sarana Cendikiawan Muslim Pelajari Peradaban Lain

Rep: Amri Amrullah/ Red: Agung Sasongko
Naskah Kuno
Naskah Kuno

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam peradaban Islam, filologi juga digunakan para sarjana Muslim sebagai sarana untuk menyerap kandungan naskah-naskah yang berasal dari peradaban lain. Pakar filologi asal Jerman, Beatrice Gruendler, dalam karya tulisnya, “Early Arabic Philologists: Poetry's Friends or Foes?”, menyinggung soal sejarah penerapan filologi di dunia Islam sebelum abad ke-11. Di situ disebutkan, pada masa-masa awal kekuasaan imperium Islam, para sarjana Arab cenderung mengarahkan kegiatan filologinya pada naskah-naskah puisi dan sastra.

Mereka mengumpulkan dan menyusun berbagai macam teks lalu mengembangkan disiplin ilmu bahasa, dan kemudian memproyeksikan hasrat yang besar terhadap nilai-nilai budaya dalam studi mereka. “Para sarjana itu layak disebut sebagai pionir filologi di dalam dunia Islam, meskipun mereka tidak pernah menyebutkan istilah kelimuan tersebut secara spesifik,” ungkap Gruendler.

Alih-alih menerjemahkan bahasa yang sudah punah, kata Gruendler lagi, para ahli filologi Muslim Arab generasi awal malah terdorong melahirkan karya-karya baru yang selalu hidup sepanjang masa. Selepas abad kedelapan, ketika bahasa Arab telah dibakukan ke dalam standar-standar tertentu, tradisi syair dan puisi Arab terus mengalami evolusi. Perubahan tersebut semakin memperkaya khazanah studi literatur di kalangan ahli filologi pada masa sesudahnya.

Profesor Siti Baroroh Baried dalam buku Pengantar Teori Filologi mengungkapkan, sebelum datangnya risalah Islam, bangsa Arab dan Persia memiliki sejumlah karya emas di bidang sastra. Sebut saja misalnya mu'allaqat dan qasidah. Ketika tradisi kelimuan Islam semakin berkembang, kegiatan filologi terhadap naksah-naskah sastra meluas hingga ke luar Arab. Periode ini berlangsung antara abad ke-10 hingga ke-11.

Pada zaman Dinasti Abasiyah, peradaban Islam mencapai masa keemasannya di bawah pemerintahan Khalifah al-Mansur (754-775), Harun al-Rasyid (786- 775), dan kemudian al-Makmun (809-833). Selama periode tersebut, banyak sarjana Muslim yang melakukan kajian terhadap naskah-naskah Yunani. Baik naskah yang berisi tentang filsafat, sains, maupun ilmu-ilmu lainnya. Tradisi ini pada akhirnya membawa dunia Islam kepada puncak perkembangan ilmu pengetahuan pada masa itu.

Meluasnya kekuasaan Dinasti Umayyah ke Andalusia dari abad kedelapan hingga abad ke-15, menyebabkan ilmu pengetahuan dari Yunani yang sebelumnya telah diserap oleh bangsa Arab kembali masuk ke Eropa dengan wajah Islam. Periode ini sekaligus menandai dimulainya Era Pencerahan di Eropa.

Selama zaman keemasan Islam (antara abad kedelapan hingga ke-15), tradisi penggarapan naskah-naskah kuno terus dilestarikan dan mengalami kemajuan pesat. Dengan menggunakan pisau filologi, para ilmuwan Muslim berhasil menelurkan banyak karya monumental dalam bahasa Arab.

Pada abad ke-11, para sarjana Muslim mulai menerjemahkan naskah-naskah India berbahasa Sanskerta ke dalam bahasa Arab dan Persia. Salah satunya adalah al-Biruni, seorang ilmuwan Muslim asal Persia, yang pernah mengunjungi India pada 1030. Setelah mempelajari naskah-naskah India untuk mengetahui kebudayaan bangsa itu, al-Biruni menulis kitab Tahqiq Ma li'l-Hind min Maqala Maqbula fi'l-'Aql aw Mardhula atau biasa disingkat menjadi Kitab al-Hind.

Selepas era kejayaan Islam, warisan filologi dari cendekiawan-cendekiawan Muslim itu akhirnya diambil oleh para sarjana Eropa pada masa Renaissans (antara abad ke-14 hingga ke-17). Sejak itu kegiatan filologi segera meluas ke dalam ragam bahasa, baik Eropa (seperti bahasa Jerman, Celtic, Slavia, dan lain-lain) maupun non-Eropa (seperti bahasa Sanskerta, Persia, dan Cina).

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement