Jumat 01 Sep 2017 09:13 WIB

Muhammadiyah Desak PBB Ambil Alih Tragedi Kemanusiaan di Myanmar

Rep: Umar Muchtar/ Red: Ilham Tirta
Seorang wanita Rohingya di perbatasan Myanmar - Bangladesh menangis setelah mendapat kabar melalui telefon suaminya tewas oleh militer Myanmar.
Foto: Mohammad Ponir Hossain/Reuters
Seorang wanita Rohingya di perbatasan Myanmar - Bangladesh menangis setelah mendapat kabar melalui telefon suaminya tewas oleh militer Myanmar.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Bahtiar Effendy mendesak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk ikut menangani secara sungguh-sungguh, bahkan mengambil alih tragedi kemanusiaan yang sedang berlangsung secara terus-menerus di Myanmar. "Sudah terbukti secara meyakinkan pemerintah Myanmar tidak bersedia menghentikan praktik genosida terhadap etnis Rohingya," kata dia dalam siaran pers yang diterima Republika.co.id, Jumat (1/9).

Dalam keterangan tersebut, dipaparkan bahwa sejak 1982 itu, etnis Rohingya telah mengalami persekusi dan pengusiran berulang kali. Terakhir adalah sepanjang pekan lalu di mana tidak kuarang 3.000 orang melarikan diri ke perbatasan Bangladesh akibat kebrutalan yang dilakukan militer Myanmar. Dalam sepekan itu juga, jumlah korban dari etnis Rohingya mencaapai sekitar 800 orang, termasuk perepuan dan anak-anak. 

Karena itu, Bahtiar mengatakan, PP Muhammadiyah juga mendesak pemerintah Bangladesh agar membuka perbatasan itu demi alasan kemanusiaan. Hal itu untuk memungkinkan etnis Rohingya menyelamatkan diri dari persekusi pemerintah Myanmar. 

PBB juga telah menyebutkan bawha etnis Rohingya adalah etnis yang paling menderita di muka bumi. Lantaran etnis ini tertolak di Myanmar dan tertindas di Bangladesh. Mayoritas etnis ini tinggal Rakhine, salah satu bagian provinsi di Myanmar. Namun, mereka tidak memiliki identitas kewarganegaraan Myanmar karena dianggap imigran ilegal dari Bangladesh.

Sebaliknya, Bangladesh juga tidak mau menerima mereka karena dianggap sebagai warga Myanmar. Ketiadaan identitas ini menyebabkan mereka tidak memiliki akses pekerjaan, pendidikan, kesehatan, dan tempat tinggal yang pantas. Ruang gerak mereka pun dibatasi hanya pada lingkup geografis tertentu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement