REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Lazismu melalui program Nusantara Berkurban untuk Indonesia Berkemajuan (NBIB) fokus mendistribusikan hewan kurban ke kawasan terluar, terdepan, dan tertinggal (3T). NBIB ingin berkontribusi dalam aspek peningkatan pendapatan masyarakat, penyadaran perilaku hidup sehat, sekaligus mengatasi masalah gizi buruk dan ketahanan pangan di kawasan 3T, serta kawasan padat, kumuh, dan kantong-kantong kemiskinan.
Lazismu juga menargetkan distribusi kurban ke daerah rawan bencana dan pascabencana, daerah rawan gizi buruk, daerah dakwah dai pedalaman, serta daerah serta santri/pesantren terpencil. Realita yang banyak dijumpai, pendistribusian daging kurban masih menumpuk di perkotaan dan tidak tersebar secara merata. Ada desa-desa terpencil yang tak tersentuh dan tak memperoleh hasil sembelihan daging kurban. Melihat fakta di lapangan, sinergi antarlembaga maupun komunitas dengan dukungan masyarakat dalam melakukan penyaluran hasil kurban ke kawasan 3T sangat penting.
Direktur Utama Lazismu, Andar Nubowo, mengatakan program kurban di kawasan 3T mensaratkan kolaborasi dan kebersamaan agar mereka yang jauh dari akses dapat merasakan kebahagiaan. “Kendati ada kawasan lain, kawasan 3T akan memberi arti bagi pekurban dan penerima manfaat,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id, Rabu (30/8).
Faktor sulitnya akses menuju lokasi daerah pelosok dinilai bukanlah halangan untuk saling berbagi. Lazismu tak hanya sekadar menyalurkan hewan kurban, namun juga mengedukasi bagaimana tata cara berkurban mulai sejak merawat atau memperlakukan hewan kurban, serta tata cara penyembelihan yang sesuai syariat.
Kisah menarik disampaikan salah satu peserta Kuliah Kerja Nyata Mahardika Bakti Nusantara (KKN-MBN) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Muhammad Fuad Fachrudin. Tahun lalu, Fuad bersama rekan mahasiswa lainnya melaksanakan KKN di Kampung Warmon, Distrik Mayamuk, Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat. “Kami membagikan satu ekor sapi untuk sekitar 150 kepala keluarga (KK) suku Kokoda dari Kampung Warmon dan sekitar 150 KK para transmigran dari desa Makbusun sehingga satu KK hanya mendapatkan setengah kilogram daging kurban,” ujarnya.
Untuk menuju ke lokasi tersebut, memerlukan perjalanan jalur darat selama kurang lebih dua jam dari Kota Sorong.
Kampung Warmon, di sanalah bermukim Suku Kokoda yang terdiri dari 158 KK. Kebiasaan berburu dan meramu serta ketergantungan akan hasil alam masih melekat pada warga Suku Kokoda.
Menurut para mahasiswa, landasan ekonomi di kampung ini masih tradisional. Lahan pertanian masih terbuka, namun persoalannya warga masih sangat membutuhkan pengetahuan mengenai bercocok tanam yang benar.
Ketua Tim KKN-MBN UMY, Sukma Patriadjati, menceritakan langkah awal yang dilakukan tim adalah melakukan pendampingan terhadap petani mengenai bercocok tanam. Bersama warga para mahasiswa membuat bedengan, dilanjutkan dengan pengolahan lahan yang siap untuk penanaman bibit sayur-mayur dan tanaman palawija.
Permasalahan pokok adalah air tanah di sana masih mengandung kapur. Warga harus membeli air galon dengan harga mahal atau mengambil air di sumur dengan jarak tempuh sekitar 2 kilometer.
Berkaca pada tahun lalu, satu ekor sapi tak cukup untuk masyarakat Warmon. Untuk itu Lazismu menargetkan distribusi kurban ke kawasan 3T.