Rabu 30 Aug 2017 16:00 WIB

Harga Mahal untuk Berbagi Ilmu

Rep: Amri Amrullah/ Red: Agung Sasongko
Pemimpin yang berilmu (Ilustrasi)
Foto: Wordpress.com
Pemimpin yang berilmu (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kisah ini dinukilkan dari buku Dahsyatnya Kesabaran Para Ulama, Syaikh Abdul Fatah (Zam-Zam Mata Air Ilmu: 2008), seperti disarikan dari kitab Wafayat al-A'yan karya Ibnu Khalikan. Kisah ini menceritakan tentang keberkahan ilmu yang tak sebanding dengan harta. 

Seperti diungkap oleh Ibnu Khalikan, pakar nahwu tersebut adalah Nadhr bin Syumail al-Mazini. Tokoh yang lahir pada 122 H itu, menurut Abu Ubaidah dalam kitabnya Matsalib al-Bashrah, merasakan kehidupan yang sempit di Bashrah. Kondisi hidup yang serbasulit itu menuntutnya untuk pergi menuju Khurasan. Ia dilepas oleh sekitar 3.000 orang penduduk Bashrah. Tidak seorang pun dari mereka selain ahli hadis, ahli nahwu, ahli bahasa, ahli puisi, atau ahli sejarah.

Ketika sampai di Al-Marbad, ia duduk dan berkata, “Wahai orang-orang Bashrah, berat bagiku berpisah dengan kalian! Demi Allah, seandainya aku mendapatkan kacang satu kailajah (takaran yang dikenal oleh penduduk Irak. Untuk ukuran sekarang, mungkin kadarnya kurang dari satu kilogram) setiap hari, niscaya aku tidak akan berpisah dari kalian.”

Abu Ubaidah berkata, “Tak ada seorang pun dari mereka yang menjamin itu baginya. Maka, ia berjalan sampai tiba di Khurasan. Di sana ia mendapatkan harta yang banyak dan ia bermukim di Marwa.”

Telah terjadi sejumlah cerita dan peristiwa unik di antara dirinya dan al-Ma'mun bin Harun ar-Rasyid, ketika ia bermukim di Marwa. Nadhr berkata, “Aku pernah mendatangi al-Ma'mun pada waktu malam. Aku datang kepadanya dengan pakaian bertambal.

Ia berujar, “Wahai Nadhr, kesahajaan apakah ini sehingga engkau menemui Amirul Mukminin dengan pakaian tambalan seperti ini?” Aku menjawab, “Ya Amirul Mukminin, aku adalah lelaki tua yang lemah, sedangkan cuaca Marwa sangat panas. Dengan baju bertambal ini, aku bisa mendinginkan diri.” Ia berkata, “Tidak, tapi engkau memang orang yang bersahaja.”

Kemudian perbincangan kami pun mengalir. Ia sendiri menyinggung tentang wanita, seraya berkata, “Husyaim menceritakan kepada kami dari Mujalid, dari asy-Sya'bi, dari Ibnu Abbas RA, ia berkata Rasulullah SAW bersabda, 'Jika seorang laki-laki menikahi wanita karena agama dan kecantikannya, ia mendapatkan bekal untuk menutupi kebutuhan’.”

Ia membaca sadad dengan mem-fathah huruf sin. Maka aku berkata, “Wahai Amirul Mukminin, Husyaim benar, Auf bin Abi Jamilah menyampaikan kepada kami dari Hasan bin Ali bin Abi Thalib, ia berkata, 'Rasulullah SAW bersabda, 'Jika seorang laki-laki menikahi wanita karena agama dan kecantikannya, ia mendapatkan bekal untuk menutupi kebutuhan.”

Ia berkata, “Al-Ma'mun duduk bersandar, lalu ia duduk dengan posisi lurus, seraya berkata, ‘Wahai Nadhr, bagaimana engkau membaca sidad?’ Aku menjawab, “Karena sadad—dengan sin yang dibaca fathah—di sini adalah keliru.” Ia berkata, “Engkau mengatakan aku keliru?” Aku menjawab, “Yang keliru adalah Husyaim. Ia adalah orang yang sering keliru dan engkau wahai Amirul Mukminin, mengikuti lafalnya.”

Ia bertanya lagi, “Lalu apa perbedaan antara sadad dan sin yang dibaca fathah dan sidad dengan sin yang dibaca kasrah?” Aku menjawab, “Yang pertama berarti keseimbangan dalam agama dan jalan lurus, sementara yang kedua berarti kehidupan yang sepadan dan segala sesuatu yang engkau gunakan untuk meluruskan sesuatu maka ia adalah sidad.” Ia bertanya pula, “Apakah orang-orang Arab pada masa lalu mengetahui hal itu?” Aku menjawab, “Ya, Al-Arja bertutur dalam syairnya:

“Mereka menyia-nyiakanku dan mereka benar menyia-nyiakan seorang pemuda

Untuk hari yang dibenci dan bekal ke perbatasan.”

Al-Ma'mun berkata, “Semoga Allah memburukkan orang yang tidak mengenal sastra.” Lalu ia tertunduk sesaat dan berkata, “Apa yang terjadi denganmu, wahai Nadhr?” Aku menjawab, “Sebidang tanah sempit di Marwa, aku mengutamakan dan menyayanginya.”

Ia berkata, “Apakah engkau berkenan kalau kami memberikan tambahan harta kepadamu bersamanya?” Aku menjawab, “Benar, aku sangat membutuhkannya.” Lalu ia mengambil kertas, namun aku tidak paham apa yang ia tulis.

Ia berkata kepada pelayannya, “Sampaikan kertas ini bersamanya kepada al-Fadhl bin Sahal.” Ketika al-Fadhl membaca tulisan tersebut, ia berujar, “Wahai Nadhr, sesungguhnya Amirul Mukminin telah memerintahkan untuk memberimu uang 50 ribu dirham, apakah gerangan yang terjadi?”

Aku pun bercerita kepadanya apa adanya. Lalu, ia memberiku tambahan 30.000 dirham sehingga aku menerima uang sejumlah  80 ribu dirham, hanya karena satu huruf yang diambil manfaatnya dariku.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement