Senin 28 Aug 2017 15:00 WIB

Menyombongkan Diri

Rep: A Syalabi Ichsan/ Red: Agung Sasongko
sombong,angkuh,menang sendiri  (ilustrasi).
Foto: Republika/Agung Supriyanto
sombong,angkuh,menang sendiri (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID,  "Pada hari ketika betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud, mereka tidak kuasa (dalam ke adaan) pandangan mereka tunduk ke bawah. Lagi mereka di liputi kehinaan. Dan, sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) diseru untuk bersujud, dan mereka dalam keadaan sejahtera." (QS al-Qalam: 43).

Nikmatnya shalat tidak bisa dirasakan mereka. Pada hari betis disingkapkan, me reka hanya menunduk ke bawah. Padahal, mereka dahulu sudah diseru untuk bersujud. Pada waktu keadaan mereka masih sejahtera.

Said Quthb dalam tafsir Fidzilalil Quran menjelaskan makna di balik ayat "... Sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) diseru untuk bersujud dan mereka dalam keadaan sejahtera." Menu rut Said Quthb, mereka sebenarnya mampu untuk bersujud, tetapi enggan dan menyombongkan diri. Dalam pemandangan yang menyedihkan dan penuh kehinaan di mana betis disingkapkan, sedangkan dunia sudah berada di belakang, mereka tidak mampu lagi saat diseru bersujud.

Ibnu Asyur menjelaskan, kalimat mereka diseru untuk sujud bukan ditujukan untuk kaum musyrikin. Menurut dia, kaum musyrikin saat hidup di dunia tidak pernah diajak untuk sujud. Ulama ini memahami kata mereka di sini dimaksudkan sebagai orang munafik.

Hanya, Quraish Shihab berpendapat, jika ayat ini juga merujuk kepada orang-orang kafir. Menurut Qu raish, sujud tidak harus diartikan sebagai salah satu rukun shalat, yakni meletakkan dahi di lantai. Namun, juga dalam artian patuh menerima tuntunan Allah SWT.

Dr Sa'id bin 'Ali bin Wahf al-Qahthani dalam Ensiklopedi Shalat Menurut Alquran dan Sunnah menjelaskan, sujud dalam ayat tersebut merujuk kepada salah satu rukun shalat. Rukun Islam kedua ini merupakan ibadah kepada Allah dalam bentuk ucapan dan perbuatan yang diketahui dan khusus diawali dengan takbir dan ditutup dengan salam.

Disebut shalat karena ketercakupannya kepada doa. Shalat bahkan menjadi sebut an untuk setiap doa lalu pindah menjadi sha lat yang disyariatkan. Menurut Al Qah thani, ada kesesuaian antara shalat dan doa. Ketercakupan shalat pada doa itu meliputi doa permohonan yang bermanfaat bagi pemanjat doa atau penyingkap ba ha ya. Sementara, doa permohonan, yaitu me mohon pahala memalui berbagai amal saleh.

Al-Qahthani menegaskan, meninggalkan shalat wajib adalah kufur. Karena itu, barang siapa yang meninggalkan shalat dengan mengingkari hukum wajibnya berdasarkan kesepakatan ijma ulama, dia telah masuk dalam kategori kufur besar. Meski, terkadang dia juga mengerjakannya. Adapun dia yang meninggalkan shalat secara total, sedang dia meyakini hukum wajibnya dan tidak mengingkarinya, dia juga kufur.

Menurut al-Qahthani, makna dalam QS al-Qalam:43 di atas menunjukkan, orang yang meninggalkan shalat masuk dalam golongan orang kafir dan munafik. Pung gung mereka tetap tegak ketika kaum Mus limin sedang bersujud. Wallahualam.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement