Kamis 24 Aug 2017 17:00 WIB

Jejak Islam di Negeri Gajah Putih

Muslim Thailand
Foto: AP
Muslim Thailand

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Selama ini banyak yang mengira Thailand adalah negara yang homogen dengan mayoritas penduduknya menganut agama Buddha. Sejatinya tidaklah demikian. Satu-satunya negara ASEAN yang tidak pernah mengalami penjajahan di zaman kolonial ini ternyata memiliki keragaman etnis dan agama.

Selain pemeluk Buddha, tak sedikit warga Thailand yang memeluk agama lain, seperti Islam, Kristen, Konghucu, Hindu, Yahudi, Singh, dan Tao. Patut dicatat, saat ini Thailand menjadi rumah bagi sekitar 6,4 juta umat Islam. Pemeluk agama Islam di Thailand berasal dari etnis Persia, Cham (Muslim Kamboja), Bengali, India, Pakistan, serta etnis Melayu dari Sumatra, Kalimantan, dan Malaysia.

Berbeda dengan umat Islam lainnya di Thailand yang menyebar ke banyak tempat, tidak demikian halnya dengan Muslim beretnis Melayu. Mereka cenderung hidup berkelompok dan bermukim di provinsi-provinsi bagian selatan Thailand, yaitu Provinsi Pattani, Yala, Naratiwat, Songkhla, dan Provinsi Satun yang berbatasan langsung dengan wilayah Malaysia.

Mengapa Muslim Melayu memilih hidup berkelompok?

Hal ini karena mereka sulit berintegrasi dengan budaya Thailand yang identik dengan agama Buddha. Hal ini pula yang kemudian mendorong didirikannya Kesultanan Muslim di Thailand Selatan pada abad ke-18. Tujuan didirikannya kesultanan ini adalah untuk menaungi dan melindungi masyarakat Muslim Melayu di Negeri Gajah Putih.

Namun, Pemerintah Thailand langsung menudingnya sebagai kelompok separatis. Raja Thailand ingin menyatukan Muslim Melayu di bawah naungan Kerajaan Thailand. Namun, mereka menolak karena masyarakat Muslim Melayu saat itu ingin diintegrasikan dengan negara Melayu atau memerintah sendiri.

Berbagai upaya pun dilakukan Pemerintah Thailand untuk memberangus kesultanan ini. Akibatnya, pada abad ke-18 itu kerap terjadi bentrokan antara Kesultanan Muslim dengan Pemerintah Thailand.

Operasi militer besar-besaran pernah dilakukan pada 1940 ketika Thailand dikuasai partai nasionalis yang dipimpin Pibul Songkhram. Kala itu rezim Songkhram memaksa orang Melayu menanggalkan identitas mereka sebagai Melayu dan Muslim, selanjutnya bersatu di bawah  pemerintahan Thailand.

Tak hanya itu, Muslim Melayu juga dilarang mengenakan busana tradisional Melayu dengan ciri khasnya, seperti peci bagi kaum pria dan kerudung bagi wanita. Bahkan, mereka juga dilarang berbicara dengan bahasa Melayu.

Disarikan dari Islam Digest Republika

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement