REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Salah satunya adalah wakaf. Dalam berwakaf, seorang Muslim akan berpikiran visioner. Sebab, wakaf itu bukan hanya soal dunia, melainkan ukhrawi kelak. Ganjaran wakaf berlangsung terus-menerus sampai nilai manfaat harta yang diwakafkan itu habis.
Begitulah di antara alasan orang- orang Islam melakukannya. Dalam hadis riwayat Imam Muslim, Rasulullah SAW diketahui bersabda, Jika seorang (Muslim) meninggal dunia maka terputuslah amalnya kecuali tiga hal, yakni sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat, dan doa anak yang saleh.
Menurut buku Fiqih Wakafyang diterbitkan Kementerian Agama RI tahun 2006, harta yang diwakafkan dapat berupa benda tidak bergerak, benda bergerak selain uang, dan uang. Yang pertama itu termasuk, antara lain, hak atas tanah dan bangunan.
Adapun benda nonuang, umpamanya adalah kendaraan, logam mulia, surat- surat berharga, dan hak kekayaan intelektual. Dalam yurispundensi Indonesia, wakaf berupa uang merupakan terobosan yang diatur UU Nomor 41 Tahun 2004.
Regulasi tersebut memberi batasan tegas, antara lain, bahwa pewakaf hadir di sebuah lembaga keuangan syariah pene rima wakaf uang (LKS-PWU) untuk me nyatakan niat berwakaf. Di sana pula dia akan menjelaskan asal-usul peme rolehan uang tersebut.
Nantinya, uang itu akan ditempatkan dalam rekening titipan (wadi'ah) atas nama penerima dan pengelola wakaf (nazir) yang ditunjuk pewakaf tersebut.
Kemudian, pewakaf akan mendapatkan sertifikat resmi. Negara ini juga sudah memiliki Badan Wakaf Indonesia (BWI) yang berdiri sejak 2007 sebagai pusat nazir wakaf nasional.
Fahmi Medias dalam artikelnya, Wakaf Produktif dalam Perspektif Islam, menandaskan beberapa urgensi wakaf uang. Menurutnya, wakaf uang belum cukup populer di tengah masyarakat Indonesia karena umumnya wakaf berkaitan dengan aset tak bergerak. Dia menambahkan, uang pada dasarnya dapat menjadi salah satu instrumen wakaf yang diperbolehkan ajaran Islam. Medias menyebut, pelopor wakaf uang di era modern adalah seorang ekonom berkebang saan Bangladesh, MA Mannan.
Medias mengutip pandangan Imam Syafii tentang kebolehan mewakafkan uang, Abu Tsaur meriwayatkan dari Imam Syafii tentang dibolehkannya wakaf dinar dan dirham. Untuk konteks nasional, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 11 Mei 2002 telah mengeluarkan fatwa yang dapat dimaknai membolehkan wakaf uang (waqf al-nuqud). Ada lima poin dari fatwa tersebut, antara lain, bah wa uang dipandang sebagai suatu surat berharga dan nilai pokok wakaf uang harus dijamin kelestariannya serta tidak boleh dijual, dihibahkan, dan/atau di wariskan.
Medias menilai, wakaf uang dapat menjadi peluang, sehingga ibadah wakaf tidak terkesan eksklusif hanya bagi orang Islam yang kaya (punya tanah atau rumah banyak). Semangat beramal jariah lebih luas cakupannya.
Misalnya, hanya dengan dana Rp 10 ribu pun dapat berwakaf. Uang seseorang pewakaf dapat ditukarkan dengan sertifikat wakaf. Hasil pengembangan wakaf dari sertifikat tersebut dapat diman faatkan untuk tujuan-tujuan pemberda yaan sosial umat Islam.
Medias mengutip hasil contoh kalkulasi yang dipaparkan Mustafa Edwin Nasution (2005). Bila kaum Muslim yang berpenghasilan Rp 500 ribu per bulan se banyak empat juta orang, kemudian tiap tahun masing-masing berwakaf Rp 60 ribu, maka per tahun terkumpul dana Rp 240 miliar.
Bila umat yang berpenghasilan kisaran Rp 1 juta sampai Rp 2 juta sejumlah tiga ju ta orang, lalu setiap tahun masing-masing berwakaf Rp 120 ribu maka per tahun terkumpul dana sebanyak Rp 360 miliar.
Bila umat yang berpenghasilan Rp 2 juta sampai Rp 5 juta sebanyak dua juta orang, lalu setiap tahun masing-masing berwakaf Rp 600 ribu maka per tahun akan terkumpul dana sebesar Rp 1,2 triliun.
Selanjutnya, bila umat Islam yang berpenghasilan Rp 5 juta sampai Rp 10 juta sebanyak satu juta orang, kemudian per tahun masing-masing berwakaf Rp 1,2 juta maka per tahun akan terkumpul dana sebanyak Rp 1,2 triliun. Total per tahunnya akan ada uang terhimpun Rp 3 triliun.
Uang tersebut tidak dapat langsung diberikan kepada mauquf `alaih, tetapi nazir harus mengelola dan mengem bangkannya terlebih dahulu. Yang harus disampaikan kepada mauquf `alaihadalah hasil investasi dana Rp 3 triliun tersebut, sedangkan uang wakafnya sendiri tidak boleh berkurang sedikit pun, tandasnya.
Ada pula jenis wakaf profesi. Secara garis besar, wakaf ini membuat seorang pewakaf menyisihkan sebagian waktunya dalam bekerja untuk tujuan sosial di jalan Allah. Misalnya, seorang dokter yang mewakafkan waktunya satu hari per pekan untuk praktik mengobati anak- anak yang tidak mampu di sekitar rumahnya.
Yang agak serupa dengan itu, wakaf hak cipta. Misalnya, seorang penulis buku best sellermewakafkan sebagian atau seluruh royalti penjualan karyanya itu demi kepentingan sosial di jalan Allah.