REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada masa Dinasti Umayyah, kantor tentara yang sebelumnya telah diprakarsai oleh Umar bin Khattab terus mengalami pengorganisasian dan perkembangan. Institusi militer pun dibagi menjadi tiga, yakni angkatan darat (al-Jund), angkatan laut (al-Bahriyah), dan kepolisian (as-Syurthah).
Angkatan bersenjata awalnya masih diisi oleh orang-orang Arab. Namun, setelah wilayah kekuasaan Islam meluas sampai ke Afrika Utara, orang-orang luar Arab (termasuk bangsa Barbar) juga ikut direkrut menjadi tentara.
Ketika akhirnya banyak tentara Muslim yang pensiun dari jihad dan perang, Pemerintah Umayyah pun mulai memperkenalkan sistem wamil menyusul diterbitkannya Nidham at-Tajnid al-Ijbari (Undang-Undang Wajib Militer). “Aturan tersebut dikeluarkan semasa pimpinan Khalifah Abdul Malik bin Marwan (yang memerintah pada 685-705),” ujar Abu Zayd Shalaby.
Sistem perbudakan militer secara luas diterapkan di Timur Tengah pada masa Dinasti Abbasiyah. Praktik tersebut berawal dari pembentukan korps budak prajurit (yang juga dikenal dengan istilah ghulam atau mamluk) oleh Khalifah al-Mu'tasim pada abad ke-9. Oleh beberapa kalangan, sistem ini dianggap sebagai varian lain dari wajib militer.
“Korps budak-prajurit pada masa Abbasiyah diisi oleh orang-orang Turki. Namun, budak-budak itu pada akhirnya justru mendominasi pemerintahan dan membangun pola di seluruh kelas militer dunia Islam. Pengaruh mereka terus berlanjut hingga masa Dinasti Ottoman,” ujar sejarawan Barat, Bernard Lewis, dalam buku Race and Slavery in the Middle East.