Kamis 10 Aug 2017 22:10 WIB
Pembela Palestina

Konflik Palestina-Israel Bukan Perang Tapi Penjajahan

Rep: Hasanul Rizqa/Erdy Nasrul/ Red: Agung Sasongko
Palestina
Foto: Republika/ Tahta Aidilla
Palestina

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Pada 2009, Azzam meluncurkan bukunya tentang perjuangan rakyat Palestina, Hamas: Unwritten Chapters. Seperti disebut Puan Z Nalla dalam resensi buku tersebut di Muslim Professionals Forum, karya Azzam ini cukup kontekstual dalam menjawab tudingan Barat. Sebab, Hamas kerap dicap sebagai organisasi teroris yang mencederai nilai-nilai demokrasi.

Padahal, sekira 10 bulan sebelum tanggal peluncuran buku tersebut, Hamas meraih suara terbanyak dalam pemilihan umum demokratis di Palestina. Dia (Azzam) menulis dengan objektif dan mencerahkan tentang topik yang sering kali disorot hanya dari perspektif Israel atau Barat, kata Nalla.

Keikutsertaan Hamas dalam pemilu merupakan satu contoh bahwa tujuan organisasi ini bukan untuk melancarkan kekerasan tak-kunjung-usai kepada Israel. Azzam memaparkan di dalam bukunya itu, Hamas hanya ingin mencapai keadilan dan perdamaian bukan permusuhan abadidi hadapan pihak yang jelas-jelas telah mencaplok tanah air Palestina.

Sampai di sini, agaknya Azzam senada dengan pemikir lainnya, Edward Said, seorang profesor Amerika kelahiran Palestina, yang mengkritik keras beberapa upaya jembatan dialog yang dibangun Barat. Said (2007), misalnya, memerinci betapa Perjanjian Oslo 1993 menyiratkan ketidakadilan terhadap bangsa Palestina dan cenderung meruangkan kepentingan Barat-Israel.

Dalam bab delapan buku tersebut, Azzam berupaya menjawab satu kontroversi seputar bom bunuh diri. Pertama-tama, dia menegaskan konflik Palestina- Israel bukanlah perang sebagaimana umumnya. Itu lebih tepat didefinisikan sebagai penjajahan, alih-alih peperangan. Sebab, di satu sisi Israel datang kepada (rakyat) Palestina yang hampir-hampir tidak bersenjata, sedangkan Israel punya persenjataan skala berat dan bahkan hingga teknologi nuklir.

Di sisi lain, Palestina selalu dalam kondisi defensif. Dari perspektif inilah, apa pun yang orang-orang Palestina lakukan untuk mempertahankan diri dan menghalangi penjajahnya (Israel) itu dibenarkan (legitimate), tulis Azzam. Apabila kekuatan dua kubu itu, Palestina dan Israel, seimbang, lanjut Azzam, maka tidak dapat dibenarkan (illegitimate) memakai cara-cara tidak konvensional.

Ketimpangan kekuatan antara dua kubu kian nyata bila memperhatikan peme taan lokasi konflik. Azzam menjelaskan, pihak Palestina kerap menyerang di daerah perbatasan wilayah Palestina-Israel. Namun, pihak Israel bukan hanya menyasar gedung-gedung pemerintahan Palestina, melainkan juga infrastruktur publik Palestina, semisal sekolah, jembatan, atau bah kan rumah-rumah sakit.

Ini menegaskan kecurigaan bahwa segala operasi (militer Israel) bukan semata-mata untuk menyelamatkan satu orang tentara Israel dari cengkeraman kubu Palestina, melainkan juga kampanye besar-besaran untuk menghancurkan kekuatan pemerintahan Hamas di Gaza.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement