REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Azan bergema subuh itu. Kesunyian suatu perumahan kelas menengah di sudut Kota Depok, perlahan pecah. Satu per satu penghuni komplek ke luar rumah mengeluarkan sepeda. Bukan untuk pergi bekerja, tapi untuk beribadah.
Warga perumahan itu setahun ini satu demi satu meninggalkan kendaraan bermotornya. Mengayuh sepeda untuk pergi ke masjid, kini sudah jadi keseharian mereka. Di media sosial pun kini mulai banyak yang mengikuti jejak mereka.
“Mulanya cuma saya yang membawa sepeda ke masjid. Jamaah lainnya pada umumnya membawa motor, meski ada juga yang jalan kaki dan sesekali ada juga yang membawa mobil,” kata Dr. Moch. Syarif Hidayatullah yang juga merupakan dosen Fakultas dan Humaniora UIN Jakarta, dalam keterangan tertulis yang diterima, Kamis (3/8).
“Lama-lama ada satu-dua jamaah yang tergerak hati untuk membawa sepeda ke masjid. Dan, sekarang alhamdulillah cukup banyak jamaah yang membawa sepeda ke masjid setiap kali salat rawatib,” lanjut ustaz yang juga penulis novel Mahar Jingga ini.
Di kota-kota besar (yang sudah menular ke kampung-kampung), bersepeda adalah barang langka dan kadang terasa amat mewah. Hanya di hari-hari tertentu dan pada momen-momen tertentu, warga yang tinggal di kota, baru bisa bersepeda dengan leluasa. Salah satunya di Car Free Day (CFD), misalnya.
Hari biasa, sulit sekali rasanya, bahkan hanya untuk dibayangkan saja. Dulu sempat juga ada gerakan bersepeda ke kantor atau yang populer dengan nama “Bike To Work”.
Namun, lambat laun gerakan baik ini tak terdengar lagi gaungnya. Faktanya memang tak mudah bersepeda di hari biasa, apalagi di kota besar, dengan tingkat polusi dan teriknya udara. Belum lagi tak ramahnya infrastruktur yang mendukung para pengayuh sepeda.