Selasa 01 Aug 2017 17:00 WIB

Peradaban Islam di Indonesia dari Pemetaan Kuntowijoyo (1)

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Agung Sasongko
Peta Kesultanan Islam nusantara.
Foto: Wordpress.com
Peta Kesultanan Islam nusantara.

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Kuntowijoyo (1985:20-28) mencoba memetakan tahap-tahap kesadaran sosial umat Islam di Indonesia. Menurutnya, ada tiga era, yang masing-masing dinamakannya periode mitos, periode ideologi, dan periode ilmu.

Periode pertama terjadi ketika umat Islam berada dalam situasi hierarkis kawula (petani) dan wong ageng(raja/istana). Ini terutama sejak jatuhnya kesultanan Demak sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa. Sejak permulaan abad ke-17 hingga akhir abad ke-19, umat Islam di Nusantara hanya subordinan dalam konstelasi politik-sosial.

Kesultanan Demak berkarakter maritim dan kosmopolitan. Bahkan, raja pertamanya, Raden Patah, disebut-sebut memiliki darah Cina. Demak sendiri merupakan kota pelabuhan penting di Jawa. Namun, masa hidup Kesultanan Demak hanya setengah abad. Maka wajarlah umat Islam belum mampu mengorganisasikan diri mereka. Paling-paling, mereka mengelompok di belakang pribadi-pribadi karismatik, semisal kiai atau haji.

Kuntowijoyo mencatat, dalam masa itu umat Islam beraksi tetapi terpecah da lam ikatan-ikatan skala kecil. Penyebabnya, umat Islam di zaman itu dipukul dua pihak sekaligus. Pertama, kolonialisme Eropa yang awalnya berkedok berdagang rempah-rempah.

Kekuatan bahari Portugis hingga Belanda mulai mencaplok kota-kota pelabuhan penting di pesisir Nusantara. Sebut saja Giri, Tuban, Gresik, Jepara, Demak, Semarang, Cirebon, Jaya karta (Jakarta), dan Banten. Tentu saja, elite Muslim sempat mengadakan perlawanan.

Pada 1546, misalnya, Sultan Demak memimpin armada melawan Portugis di Malaka, meskipun upaya-upaya semisal ini berujung gagal. Kedua, adanya tekanan dari pedalaman yakni apa yang diistilahkan AE Priyono renaisans Hindu Jawa yang hendak menegaskan kembali ideologi negara agraris-patrimonial. Dalam artikelnya, Pendekatan Evolusioner atas Budaya Politik Umat, Kuntowijoyo mengungkapkan dalam era itu ada pergeseran pusat politik Jawa dari pantai utara ke wilayah pedalaman, yakni Pajang, dan kemudian Mataram.

Dia menduga, alasannya adalah peningkatan permintaan stok beras di pasaran internasional sehingga Jawa memerlukan perluasan persawahan ke selatan. Upaya demikian terutama dilakukan Pangeran Senapati, yang menyatakan kekuasaannya independen dari Pajang. Pemimpin ini membuka lahan-lahan baru yang kelak menjadi Mataram. Karena ingin memonopoli pasar, penguasa Mataram berambisi menaklukkan pusat-pusat dagang urban di pantai utara.

Demikianlah, Negara Mataram yang baru muncul ini--yang tandingannya mungkin hanya ditemukan di Aceh-mampu menyentralisasikan (memusatkan)birokrasi dan ekonomi dengan mengorbankan kota-kota pesisir dan pedagang Muslim, tulis Kuntowijoyo. Bila dibanding kan dengan Aceh, misalnya, Jawa memang cenderung feodal.

Di Aceh, para saudagar tidak bergantung pada Istana, meski mengakui kekuasaan politiknya. Mereka hidup dan menjadi kaya dari aktivitas niaganya, sedangkan raja atau pihak Istana kekayaannya dari memungut pajak.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement