Selasa 01 Aug 2017 16:34 WIB

Islam Perkaya Etika Kosmopolitan

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Agung Sasongko
Islam pernah memimpin peradaban dunia.
Foto: Aksitarih.com
Islam pernah memimpin peradaban dunia.

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Sejarah memang selalu ditentukan oleh pemikiran yang paling menonjol dari zamannya. Masa Aufklarung(Pencerahan) abad ke-18 di Eropa (misalnya) juga ditandai pemikiran yang paling menonjol di kalangan pemikir-pemikirnya, yaitu bagaimana peradaban bisa bertumpu pada pemikiran rasional, meskipun pada waktu itu para petani Eropa masih hidup dalam alam mitos, tulis Kuntowijoyo dalam sebuah artikelnya (1985).

Kuntowijoyo lantas membandingkan hal itu dengan pola pikir yang sempat berkembang di kancah perpolitikan nasional umat Islam. Ketika para tokoh Masyumi sudah berpikir ideologi, para pengikutnya masih juga berpikir dalam suasana mitos, mitos Sunan Kalijaga, mitos Ratu Adil, dan sebagainya. Massa lebih memen tingkan hubungan patron-klien dalam struktur feodal dan sebagainya.

Petikan kritik itu menunjukkan, sejarah bukanlah garis tunggal dengan batasbatas warna yang tegas. Sejarah lebih mirip sebagai bentangan banyak kain yang merentang tumpang tindih satu sama lain. Kadang, sebuah warna lebih domin an atas warna lain di bawahnya. Tidak jarang, dua helai kain saling bertemu sehingga menampakkan kombinasi warna.

Dominasi warna tertentu dalam sejarah selalu dimotori generasi muda. Dalam konteks ini, Kuntowijoyo mengajak mereka untuk menerjemahkan Islam ke dalam konteks yang aktual. Untuk menggapainya, dia terlebih dahulu memaparkan secara diakronis narasi sejarah Islam hingga sampai ke Nusantara.

Rasulullah SAW lahir di Makkah, sebuah kota transit perdagangan dunia di Jazirah Arab. Dengan perkataan lain, Islam muncul bukan dari daerah pinggiran atau perdesaan. Masyarakat Arab di sana, termasuk Rasulullah SAW, memiliki mental kosmopolitan. Mereka terbiasa berjumpa dan mengalami budaya-budaya asing atau baru, di luar budaya lokal Makkah sendiri.

Di antara etika kosmopolitan pada umumnya adalah inklusivitas, yaitu menerima (hasil) budaya-budaya asing ke dalam budaya lokal. Masyarakat Makkah, mi salnya, juga menggunakan sistem mo neter Romawi (lebih dominan) dan Persia untuk melangsungkan aktivitas perniagaan. Namun, Makkah juga menawarkan produk orisinalnya kepada masyarakat luar.

Contoh paling unggul adalah tradisi tawaf mengitari Ka'bah dan kebanggaan warisan Nabi Ibrahim, utamanya agama yang berdasarkan teks wahyu ilahiah. Sing katnya, Makkah tidak hanya menerima, melainkan di saat yang sama juga menawarkan identitasnya kepada dunia.

Datangnya Islam tidak mematikan etika kosmopolitan tersebut. Malahan, Islam memperkaya etika kosmopolitan dengan tangga peradaban, yakni Alquran dan Sunnah. Khususnya di masa puncak peradaban Islam yang merentang dari abad ketujuh hingga ke-12 Masehi.

Para sarjana Muslim dan bahkan non-Muslim terbiasa mengembara dari satu kota ke kota lain dalam wilayah Islam yang berbeda-beda penguasa. Tidak sedikit pula yang menetap di kota-kota tertentu sehingga mengharumkan nama lembaga tempat mereka bermukim.

Baghdad memiliki Baitul Hikmah. Samarkand punya observatorium Ulugh Beg. Maroko punya universitas pertama di dunia. Kordoba menjadi pusat per adaban Barat yang kemudian mence rahkan para bangsawan Eropa Abad Pertengah an. Malaka, Aceh, dan Riau menjadi dae rahdaerah awal para sufi dan cendekia mengembangkan bahasa Melayu yang kemudan diadopsi menjadi bahasa Indonesia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement