REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Makkah merupakan kota kelahiran Nabi Muhammad SAW. Di sini pula lokasi Ka'bah, Masjid al-Haram, kawasan suci bagi umat Islam. Bagaimanapun, belum pernah ada satu entitas politik pun yang mengklaim Makkah sebagai pusat pemerintahan.
Makkah sudah dikenal sebagai salah satu kota penting dunia, setidaknya sejak abad pertama Masehi. Astronom Yunani Ptolemy (lahir 100 Masehi) menama kannya Macoraba. Sejak berkuasa pada abad kelima, suku Quraisy tidak men jadikan Makkah dalam genggaman po litik Romawi Timur maupun Persia.
Quraisy memilih sikap netral di tengah konflik pengaruh kedua imperium ter sebut. Dalam istilah sejarawan Henri Lammens (meninggal 1937), Makkah dalam masa klasik menjadi 'republik para pedagang'. Karakteristik terbuka kota ini tetap bertahan demi menghindari benturan-benturan politik yang dapat mematikan aktivitas perniagaan global.
Dengan sendirinya, Makkah menjadi kota kosmopolitan. Daya tarik utamanya adalah Ka'bah, tempat orang-orang yang da tang dari segala penjuru untuk bertawaf. Ritual tersebut sudah ada sejak pra-Islam. Dalam abad kedelapan Masehi, sarjana-sarjana dunia menyambangi Makkah untuk menghimpun ajaran Nabi SAW, sehingga memunculkan studi hadis.
Dalam disertasinya untuk Columbia University (1992), Azyumardi Azra menyebutkan, Makkah dan Madinah (Haramain) memainkan peran penting sebagai pusat persebaran gagasan reformasi di tubuh umat Islam sejak abad ke-17. Banyak ulama, sufi, pemikir, filsuf, dan sejarawan yang saling bertukar informasi dan ilmu di sana, termasuk benih-benih pemikiran antikolonialisme.
Gagasan reformasi itu sampai ke nusantara berkat para jamaah haji yang tinggal sementara di Haramain sebelum kembali ke Tanah Air. Bahkan, sejumlah ulama di Makkah merupakan kelahiran nusantara. Di antaranya adalah Syekh Achmad Kha tib al-Minangkabawi, imam besar Masjid al-Haram sekaligus ahli fikih mazhab Syafii kelahiran Sumatra Barat, 1860.
Mengutip pendapat sejarawan Taqi al- Din al-Fasi al-Makki al-Maliki, lanjut Azra, madrasah pertama di Makkah adalah Madrasah al-Ursufiyyah yang dibangun pada 1175. Pendirinya adalah 'Afif Abdullah Muhammad al-Ursufi. Lokasi madrasah ini berada di selatan Masjid al-Haram. Setahun sebelumnya, al-Ursufi juga membangun madrasah dengan konsep serupa di Kairo. Sampai akhir abad ke-16, ada sekitar 19 madrasah di seantero Makkah.
Ibnu Battutah yang menyambangi Madinah pada 1326 mencatat, aktivitas keilmuan berpusat di Masjid Nabawi. Para pelajar duduk melingkar dan mem bentuk majelis-majelis keilmuan. Sejara wan al- Samhudi, kata Azra, menyebut informasi, Sultan Bengal Ghiyath al-Din membangun sebuah madrasah di Madinah pada 1314.
Dalam abad ke-14, setidaknya ada delapan madrasah di Madinah. Pada era tersebut, jamak terjadi bahwa sultan-sultan dari India dan Turki menjadi filan tropis yang membangun institusi-institusi pendidikan di Haramain. Sebab, para ulama di Haramain merupakan tempat ber tanya dan meminta fatwa bagi per soalan kaum Muslim dari pelbagai penjuru dunia.