REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Harapan, bagi manusia memang teramat penting. Berharap merupakan energi sekaligus daya dorong untuk tidak mudah putus asa, tetap optimistis. Namun, kata Imam al-Ghazali, berhati-hatilah menggantungkan harapan. Sebab, satu dari sekian proses berharap tersebut bisa berujung pada mengkristalnya penyakit hati.
Melalui magnum opusnya, Ihya Ulumiddin, tokoh bernama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali ath-Thusi asy-Syafi'I tersebut menjelaskan kategorisasi harapan. Pertama, mengharapkan sesuatu, tapi tidak didukung dengan upaya mencapainya, maka itu adalah tipuan atau al-ghurur. Bila berharap tanpa mengetahui apa yang hendak dicapainya, itu disebut dengan berangan-angan atau aat-tamanni.
Sedangkan jika mengharapkan kebahagiaan di akhirat, haruslah melakukan amal kebajikan selama di dunia. Harapan yang didukung dengan usaha ini disebut ar-raja'. Orang yang beriman mengamalkan raja'. hatinya selalu mendapatkan ketenangan.
Jika mengharapkan sesuatu, prasyarat agar sesuatu itu datang harus dipenuhi. Gambarannya, kehidupan di dunia adalah ladang untuk memperoleh kebahagiaan di akhirat. Jika mengharapkan kebahagiaan di akhirat, haruslah melakukan amal kebajikan selama di dunia
Hakikatraja', menurut tokoh kelahiran Thus Persia 1058 M/ 450 H itu, ketenangan hati menunggu sesuatu yang dicintai dan objek tersebut benar adanya dengan rententan sebab dan proses yang mesti dilalui. Ar-Raja' mengharapkan sesuatu yang disukai dan yang dicintai.
Ar-Raja' membuat seseorang bersemangat dan bersungguh-sungguh dalam beramal. Bila berharap, akan didukung dengan berusaha untuk mendapatkannya. Ketika berharap mendapatkan ridha Allah SWT, seseorang akan beramal saleh di dunia, memperkuat hubungan dengan Sang Khalik, dan memperbaiki kualitas interaksi antarsesama. Seperti bersedekah, menyantuni anak yatim, dan tidak menghamburkan harta di jalan maksiat.
Lebih lanjut, tokoh yang terkenal dengan sebutan Algazel di Dunia Barat tersebut mengatakan, pengamal raja' tidak mungkin bertobat sambal. Pertobatan yang ditempuh steril dari maksiat. Sebab, mereka yang mengaku bertobat sementara masih tenggelam dalam kenistaan, maka harapan tersebut kosong. Ibaratnya, dia menanam benih di bumi yang gersang, tetapi tidak menyiram atau memeliharanya sebaik mungkin.
Imam al-Ghazali kemudian mengutip perkataan Yahya bin Muaz, "Sebesar-besar tertipu menurutku ialah mengharapkan ampunan Tuhan tanpa penyesalan, kemudian dibarengi dengan tetap berbuat dosa dan mengharapkan dekat kepada Allah tanpa taat. Semua itu sama saja seperti menunggu hasil tanaman surga dengan benih neraka.