REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Salah satu ciri peradaban bangsa-bangsa yang unggul adalah kepemilikan sistem kalender. Pakar ilmu falak sua tu masyarakat biasanya menjadikan peredaran bu lan atau matahari sebagai tolak ukur yang menentukan penanggalan.

Penerapan tata almanak dapat meluas bukan hanya bagi ma syarakat yang menghasilkannya, melainkan juga wilayah-wilayah lain. Luasnya cakupan itu dapat menandakan besarnya pengaruh suatu peradaban. Misalnya, sistem kalender Islam atau Hijriyah yang sudah berusia lebih dari 14 abad.

Sebagaimana namanya, penanggalan Islam mengambil titik mula pada hijrah sebagai peristiwa penting dalam dakwah Rasulul lah SAW. Pada 662 Masehi, Nabi Muhammad SAW yang sudah men capai usia 52 tahun berpindah dari tanah kela hirannya, Makkah, ke Yastrib (kelak bernama Madinah al-Munawarah). Beliau di te mani sahabat setianya, Abu Bakar ash- Shiddiq RA. Adapun fiksasi sistem kalender Islam sendiri baru terbentuk pada zaman pemerintahan Khalifah Umar bin Khatab RA.

Ida Fitri Shohibah dalam bukunya, Mengenal Nama Bulan dalam Kalender Hijriyah(2012), menjelaskan sistem kalender yang di anut bangsa Arab pra-Islam. Menurut dia, sebelum ajaran Rasulul lah SAW tiba, suku-suku bangsa Arab pada umumnya tidak memiliki tata almanak yang disepakati bersama.

Namun, hal itu tidak berarti ahli-ahli astronomi tidak muncul dari bangsa Arab. Ida menyebut, sosok yang pertama kali berupaya membuat kalender khas Arab adalah Ya'la bin Umayyah, seorang Arab-Yaman. Tidak dijelaskan lebih lanjut, mengapa kalender produk Ibnu Umayyah itu tidak dapat diaplikasikan secara merata di penjuru Jazirah Arabia.

Mungkin dapat kita duga, fanatisme kesukuan yang begitu kuat di kalangan Arab menjadi halangannya. Oleh karena itu, dengan alasan pragmatis, kebanyakan saudagar Arab pra- Islam memakai kalender Masehi atau Persia untuk mempermudah bisnis mereka.

Ikuti Whatsapp Channel Republika