Rabu 21 Jun 2017 22:41 WIB

Rasulullah Ajarkan Kita Kemandirian

Rasulullah
Foto: wikipedia
Rasulullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Rasulullah SAW mengajarkan kita dengan kehidupan beliau yang mandiri. Sedari kecil, ia menggembala domba.

Punya kakek dan paman dari pe muka kaum Quraisy tidak lantas mem buatnya bersandar pada orang lain. Se perti pepatah Arab yang masyhur, “Bu kanlah seorang fata (pemuda idaman) yang mengatakan ‘orang tua saya adalah si fulan’. Tetapi, fata yang sebenarnya adalah mereka yang mengatakan, ‘inilah saya’.”

Kemandirian seperti yang dicontohkan Abdurrahman bin Auf jarang sekali didapati di tengah-tengah masyarakat Muslim saat ini. Masih banyak dijumpai mereka yang bersandar secara ekonomi pada orang lain, bahkan pada dakwah Islam.

Tak sedikit para mubaligh yang meng gantungkan hidup dari amplop bercera mah. Banyak sekolah agama yang mengandalkan bantuan para do natur untuk terus eksis. Banyak pula kegiatankegiatan para remaja Muslim yang bertopang pada proposal bantuan dana.

Abdurrahman bin Auf, Utsman bin Affan, Umar bin Khattab, Abu Bakar as- Shiddiq, serta sahabat-sahabat lainnya ada lah contoh para dermawan yang mem biayai dakwah dari kantong mereka sendiri. Ketika panggilan jihad datang, mereka berlomba-lomba mendanai jihad dari dana pribadi mereka. Tidak ada isti lah pada zaman Rasulullah dan para saha bat mengajukan proposal bantuan dana kepada para donatur. Justru, me reka sendirilah yang membiayai dakwah mereka.

Mereka inilah yang menghidupkan jalan dakwah, bukan mencari hidup di jalan dakwah. Mereka mandiri secara fi nansial, kemudian membiayai dakwah mereka secara mandiri. Hal berbeda dengan sebahagian mubaligh yang ada saat ini.

Bukankah, sehari setelah Abu Bakar as-Shiddiq diangkat menjadi khalifah (Amirul Mukminin) ia masih berdagang ke pasar? Bukti bahwa dalam dakwah tak ada peluang mencari hidup. Ia mengajarkan, ialah yang harus membiayai dakwah, bukan dakwah yang membiayai kehidupannya.

Sayangnya, para mubaligh tidak mempunyai bisnis sampingan sebagai ladang ma’isyah (mata pencarian) mereka. Kesibukan mereka di dunia dakwah telah menutup kesempatan mereka untuk mengambil jatah mereka di dunia. Akhirnya, jadilah dunia dakwah sebagai ladang mendapatkan ma’isyah. Mereka digaji sangat rendah dari para karyawan kantoran.

Tidak bisa tidak, seorang dai harus mempunyai bisnis sendiri sebagai ma’isyah-nya. Sebuah pondok pesantren dan sekolah agama harus mempunyai unit usaha sendiri untuk menjalankan roda pembangunan dan ekonominya. Dan, para remaja Muslim harus lebih kreatif menggelar berbagai kegiatan tanpa harus membuat proposal permohonan dana. Tunjukkan, sebagai umat Islam, berpantang untuk meminta-minta dan memberatkan orang lain.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement