REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Halal Watch (IHW) menggelar diskusi soal manfaat Undang-Undang Jaminan Produk Halal (UU JPH). Diskusi turut menegaskan UU JPH bukan merupakan mandatory halal yang seakan jadi isu samping yang mencoba mengganggu UU tersebut.
Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch, Ikhsan Abdullah melihat, UU JPH sangat minim direspons Indonesia, negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Hal ini membuat seakan UU JPH partisan, hanya milik kelompok agama tertentu.
"Padahal, di era global ini halal sudah menjadi lifestyle, kebutuhan semua orang karena bukan hanya sehat, tapi juga mengandung keberkahan," kata Ikhsan di Hotel Cikini, Rabu (14/6).
Dia membandingkan, banyaknya restoran halal di negara-negara lain seperti Taiwan, dengan sedikitnya restoran di Indonesia. Pasalnya, Indonesia khususnya di Jakarta baru ada setidaknya 33 restoran yang sudah tersertifikasi halal.
Sedangkan, produk halal sedang digandrungi dunia, sehingga sayang sekali jika ada kesalahpahaman tentang UU JPD yang seakan jadi isu agama tertentu. Bahkan, hari ini, UU JPH sampai diajukan yudisial review, padahal akan aktif 2019.
"Seakan mandatory halal, seakan semua produk di masyarakat wajib halal, nah kita (IHW) di MK satu-satunya lembaga yang keberatan dengan uji yudisial review itu," ujar Ikhsan.
Untuk itu, dia berharap, masyarakat tidak salah memahami atas kehadiran UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal tersebut. Menurut Ikhsan, UU JPH itu menegaskan kewajiban sertifikasi, tidak sama sekali bagian dari halal mandatory.