REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis Ulama Indonesia (MUI) akhirnya memberi fatwa tentang hukum dan pedoman bermuamalah melalui media sosial. Dalam fatwa bernomor 24 tahun 2017 ini, MUI mengungkap penggunaan media sosial di tengah masyarakat sering kali tidak disertai tanggung jawab. Media sosial pun kerap menjadi sarana untuk penyebaran informasi tidak benar, hoaks, fitnah, ghibah, namimah, gosip, pemutarbalikan fakta hingga permusuhan dan ujaran kebencian.
Merujuk pada rubrik "Fatwa" di Dialog Jumat edisi 17 Maret 2017 (Urgensi Fatwa untuk Buzzer Politik), media sosial di Indonesia memang sudah menjadi kebutuhan komunikasi masyarakat. Hasil riset dari We Are Social, ada 79 juta pengguna Facebook asal Indonesia. Sebanyak 41 persen di antaranya adalah kaum hawa. Sementara, 59 persen sisanya merupakan pria.
Meski merahasiakan berapa pastinya jumlah pengguna Twitter di Indonesia, Twitter Indonesia pernah melansir, paling tidak ada 4,1 juta kicauan yang berasal dari Indonesia. Sebanyak 77 persen pengguna Twitter di Indonesia aktif setiap harinya. Dari 77 persen tersebut, 54 persen di antaranya melakukan dua kicauan setiap hari.
Besarnya jumlah pengguna medsos sudah tentu menjadi pasar yang menggiurkan bagi para politisi untuk mencari dukungan. Dengan menjadikan isu yang menguntungkan calonnya untuk dibicarakan, opini publik pun akan terbentuk. Opini ini yang akan menjadi modal bagi para politisi untuk memengaruhi sikap publik terhadap calon yang diusung.
Jasa dukungan politik lewat media sosial pun tampak pada kontestasi pemilihan umum, pemilihan presiden, hingga pemilihan kepala daerah (pilkada). Alhasil, kampanye tersebut selalu mengundang keriuhan di media sosial (medsos). Pertempuran antara pendukung kerap mengisi top issue di Twitter dan Facebook. Tak jarang, pertempuran ini sering kali dipenuhi dengan amunisi kebohongan alias berita hoaks.
Pertempuran antar-buzzer sering kali merembet kepada konflik horizontal. Dua teman yang awalnya menyatakan pendapat berbeda misalnya, saling unfriend dan unfollow karena berbeda pandangan. Ikatan ukhuwah dan silaturahim yang sudah terjalin di dunia nyata harus putus karena saling gesek di dunia maya.