REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Senyum dan tawa seketika pecah di tengah-tengah dialog Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin, di Pengkajian Ramadhan PP Muhammadiyah. Pasalnya, seorang peserta yang berkesempatan bertanya, minta dijelaskan arti kata kafir.
"Wah, pertanyaannya tanpa basa-basi, langsung menohok," kata Lukman di UMJ yang disambut senyum dan gelak tawa peserta Pengkajian Ramadhan, Senin (5/6).
Namun, ia tetap berusaha memberikan permintaan peserta itu, tentu masih di suasana yang sedikit dibumbui senyum ratusan peserta lain. Lukman menjelaskan, menurut hematnya kita bisa bertanya kepada diri masing-masing tentang itu.
Terutama, lanjut Lukman, untuk kepentingan dan urgensi apa kita harus mengatakan atau menyebut orang lain itu kafir. Sebab, ia berpendapat, penyebutan itu kepada orang lain cuma akan saling menjauhkan dan tidak memiliki keuntungan.
"Bukankan agama meminta kita, seperti Buya Hamka katakan, untuk mendekatkan sesama kita yang berbeda," ujar Lukman.
Untuk perbedaan, ia menekankan itu sudah menjadi fitrah atau sunatullah, menjadi kehendak langsung dari Allah SWT. Sebab, jika Tuhan mau tentu mudah jadikan semua manusia satu ikatan wahidatan, tapi faktanya tidak ada umat yang heterogen.
"Apa perlunya di tengah kemajemukan dan keragaman kita mengatakan pihak lain kafir, sesuatu yang menimbulkan mudarat, sebaiknya merangkul dan mengayomi mereka yang berbeda," kata Lukman menutup jawabannya.