Selasa 16 May 2017 08:41 WIB

Iran dan Turki Aktif Berdakwah di Georgia

Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu (kiri) berbicara dengan timpalannya dari Georgia Mikheil Janelidze saat KTT NATO di Warsawa, Polandia, Jumat, 8 Juli 2016.
Foto: AP Photo/Alik Keplicz
Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu (kiri) berbicara dengan timpalannya dari Georgia Mikheil Janelidze saat KTT NATO di Warsawa, Polandia, Jumat, 8 Juli 2016.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wilayah Adjara, Georgia Barat diserahkan kepada Rusia dan kembali bergabung menjadi wilayah Georgia pada 1878. Meskipun menjadi wilayah Georgia, penduduknya merasa terikat dengan Turki dan Islam sebagai kepercayaannya dan terkadang selalu bertentangan dengan orang Kristen Ortodoks Georgia dan Rusia.

Pada 1921, Perjanjian Kars antara Turki dan Rusia dibuat untuk melindungi Muslim Adjara. Adjara merupakan dua entitas otonom di Soviet saat itu yang didirikan bukan berdasarkan etnis tidak beragama.

Soviet dikenal dengan ateismenya yang agresif, sehingga menyingkirkan agama dari ranah publik, maka etnisitas menjadi pilar utama identitas Adjara. Saat kebangkitan agama pada 1990, Georgia memastikan Islam tidak akan berpengaruh sebelum Soviet berkuasa di sana. Perlahan-lahan kekuasaan Adjara dipindahkan ke Gereja Ortodoks di Georgia.  

Sejak Soviet pecah pada 1991, Turki dan Iran melakukan upaya bersama untuk berdakwah di antara penduduk Muslim Georgia. Iran membuka dua madrasah di Tbilisi dan Marneuli serta tiga pusat kebudayaan termasuk al-Beitdi Tblisi. Turki kemudian membiayai pembangunan madrasah di Meore Kesalo dan wilayah tenggara Georgia yang didominasi penduduk Azerbaijan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement