REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebagai negeri yang dilalui cincin api (ring of fire), Indonesia kerap dilanda bencana. Tanah longsor, gempa bumi, banjir bandang, hingga tsunami menjadi tamu tak diundang di berbagai daerah. Yang teranyar terjadi pada Sabtu (29/4) lalu. Di Desa Sambungrejo, Kecamatan Grabag, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, banjir bandang menerjang.
Bidan Aryati menjadi salah satu saksi hidup bencana tersebut. Seperti dilansir dari detik.com, Aryati berada di rumah bersama keluarga saat bencana terjadi. Dia mendengar suara gemuruh dari belakang rumahnya. Hanya butuh beberapa detik, bangunan rumahnya tiba-tiba roboh dan menimpa mereka.
Aryati pun tenggelam dan minum lumpur. Dia terjepit bongkahan beton. Akhirnya, dia ditemukan dan dievakuasi warga. Meski begitu, dia harus kehilangan suami dan dua anaknya. "Insya Allah, suami saya syahid, putra saya surga," ujar dia lirih. Tak hanya keluarga Aryati yang menjadi korban. Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Magelang, Edy Susanto, memastikan jumlah korban meninggal akibat banjir bandang di Magelang ada 12 orang.
Islam mengajarkan agar suatu kaum mengurus jenazah anggotanya yang wafat. Jenazah Muslim hukumnya fardhu kifayah untuk dimandikan, dikafani, dishalatkan, hingga dikuburkan. QS Abasa:21 menunjukkan bahwa manusia harus dikuburkan saat meninggal dunia. "Kemudian, Dia mematikannya dan memasukkannya ke dalam kubur." Rasulullah SAW pun melalui hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud menjelaskan bahwa umat Islam harus segera mengurus jenazahnya. "Tidak pantas di antara mayat seorang Muslim untuk ditahan di antara keluarganya."
Dalam keadaan normal, mayat wajib dimandikan, dikafani, dishalatkan, dan dikuburkan. Prosedur ini dilakukan menurut tata cara yang sudah ditentukan dalam syariat Islam. Dalam keadaan darurat, di mana pengurusan (penanganan) jenazah tidak mungkin memenuhi ketentuan syariat di atas maka pengurusan jenazah dilakukan dengan cara darurat.
Ada kondisi di mana Nabi SAW pernah memerintahkan untuk mengubur para syuhada' Uhud dalam bercak-bercak darah. Mereka tidak dimandikan dan tidak dishalatkan (HR Al Bukhari). Hukum ini khusus bagi syahid ma'rakah (orang yang terbunuh di medan perang). Adapun orang yang mati terbunuh karena membela hartanya atau kehormatannya, merujuk pada Asy Syarhul Mumti (5/364), mereka tetap dimandikan, meskipun mereka juga syahid. Demikian orang yang mati karena wabah tha'un atau karena penyakit perut, mati tenggelam, atau terbakar. Meskipun mereka syahid, mereka tetap dimandikan.